Afran Damari, Orang Tua bagi Para Pelajar yang Terpinggirkan Keadaan
By Muhammad Abdi Ridha - Januari 16, 2021
Suasana di sekitar Kampung Gunung Leutik, Desa Benteng, Kecamatan Ciampea tampak biasa. Walau kondisi jalan rusak parah di beberapa bagian, pemandangan kiri-kanan jalan terlihat asri ditumbuhi beberapa jenis tanaman hortukultur seperti ubi dan bengkuang. Sebuah rumah berdiri di antara barisan pohon pisang yang berjejer rapat. Rumah tersebut terbilang sederhana, berukuran sekitar, hmm aku kurang tahu pasti, mungkin enam kali enam meter dengan tembok plester bercat putih. Di dalamnya ada dua kamar tidur serta dapur yang menyatu dengan ruang tengah. Di sinilah tempat berbagai jenis perabotan disimpan, mulai dari lemari piring, meja makan, pakaian yang baru diangkat dari jemuran dan lemari buku. Ruang tamu? Orang-orang termasuk pemilik rumah ini sendiri sudah terbiasa bercengkrama di teras rumah. Bahkan, jika ada tamu yang menginap, para tamu ini akan disuguhkan pengalaman tinggal di alam terbuka (dalam makna yang sebenarnya), tidur di teras rumah.
Rumah ini milik Pak Arfan, dosen honorer yang sempat mengajar di Program Studi Manajemen dan Sekolah Vokasi Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Agama Islam Sahid (INAIS).
Selain mengajar, kesehariannya mengelola Komunitas Pendidik Nusa, sebuah komunitas sosial pendidikan yang mengelola posko belajar sekolah terbuka dan sekolah paket kesetaraan. Komunitas ini beridir sejak tahun 2014. Ia adalah kepala sekolah di salah satu pusat kegiatan belajar Sekolah Terbuka sebelum mendirikan komunitas ini. Murid-muridnya berasal dari kalangan anak-anak yang tidak dapat mengenyam bangku pendidikan formal di sekolah reguler biasa karena berbagai alasan, dibantu beberapa rekan guru pamong lainnya.
Walau memiliki kesibukan sebagai dosen, tidak menjadi alasan baginya menyisihkan sebagian waktu untuk mendukung pendidikan anak-anak di sekitar rumah. Bahkan, acap kali kegiatan belajar di Komunitas Pendidik Nusa lebih diutamakan. Ia adalah lulusan program magister manajemen IPB, sama dengan Bu Wiwik, istrinya.
Perjalanan Pak Arfan dalam mengelola Komunitas Pendidik Nusa tidaklah mudah. Lebih sering ia harus mengorbankan waktu bekerjanya, mengutamakan mengajar anak-anak yang tiap kelas hanya berisikan satu sampai delapan siswa saja. Terlebih, kala itu adanya tiga posko kegiatan belajar di tiga kecamatan berbeda menuntutnya untuk mobilisasi secara intens serta mengurus mental, fisik dan waktu. Untunglah sang istri kerap menemani, walau satu dua kali Bu Wiwik sering mengeluh dengan kegiatan suaminya yang terus sibuk berkhidmat untuk orang lain sambil bercanda. Beberapa waktu Pak Arfan dan istri harus berbagi tugas mengajar di dua tempat berbeda.
Untuk membantu kegiatan belajar mengajar, Pak Arfan kerap mencari relawan guru. Karena sistemnya relawan, ia tidak memaksanakan keikutsertaan relawan secara rutin di posko-posko belajar. Beberapa relawan ada yang membantu satu kali seminggu, satu kali sebulan dan bahkan satu kali lalu tidak pernah datang lagi (ini memang terjadi. Pernah salah seorang relawan perempuan mencoba mengajar di salah satu posko terjauh. Medannya ekstrem kala itu, jalan berbatu. Jatuh dari motor, sejak itu ia tak pernah datang lagi).
“Pernah kepikiran untuk open recruitment SDM (guru). Tapi kami tidak bisa memberikan apa-apa (dalam bentuk finansial).” Kira-kira begitu maksud curhatannya ketika diselidiki kenapa tidak membuka lowongan guru. Memang, walau sudah ada regulasi yang mengatur perihal sekolah terbuka, upah guru pamong sekolah terbuka jauh dari kata sejahtera. Upah itu mungkin akan habis hanya untuk biaya transportasi, penyiapan alat dan bahan ajar. Perihal kenapa ia begitu teguh meneruskan komunitas yang ia dirikan, padahal hal ini justru telah mengorbankan banyak hal, Pak Arfan menjelaskan bahwa selagi masih ada satu orang yang ingin belajar, lanjutkan.
Anak-anak yang tergabung dalam sekolah terbuka dan paket kesetaraan memiliki motivasi yang berbeda dari siswa pada umumnya. Sekolah umum memiliki rentang umur yang terdistribusi secara merata, misalkan kelas satu sekolah dasar berumur selang lima sampai tujuh tahun, namun tidak dengan mereka yang belajar di Komunitas Pendidik Nusa. Mulai dari angkatan sekolah hingga lanjut usia bisa belajar di program sekolah paket kesetaraan. Tantangan berbeda muncul dari siswa-siswa sekolah terbuka. Sebut saja Rini (nama samaran), siswi kelas sepuluh. Keluarga Rini memiliki trauma di sekolah formal. Kakaknya, sebut aja Andini, pernah bersekolah di sekolah menengah swasta yang berjarak satu kali naik angkutan umum dari rumahnya. Suatu kali Andini yang tergabung dalam klub bela diri mengalami porsi latihan yang terlalu berat hingga kondisi tubuhnya melemah. Andini dilarikan ke rumah sakit. Karena beberapa alasan, beberapa rumah sakit menolak pengobatan Andini hingga salah satu rumah sakit akhirnya menerima. Namun di rumah sakit ini Andini tidak tertolong.
Cerita lain dialami Roni (nama samaran), juga siswa kelas sepuluh. Menurut pemaparannya, ia dulu adalah anak buah kakak kelasnya yang terkenal suka memeras adik-adik kelas. Perbuatan Roni ini diketahui oleh pihak sekolah. Roni dikeluarkan dari sekolah dan akhirnya bergabung di sekolah terbuka untuk melanjutkan jenjang pendidikannya. Roni hidup dengan ibu singel parent dan satu orang adik perempuan.
Juga kisah Aang (nama samaran), anak yang selalu rajin belajar. Aang adalah anak pemulung yang kesehariannya memulung di kampus IPB Dramaga. Karena mulai mengikuti kegiatan belajar di Komunitas Pendidik Nusa, ia rela menggeser waktu mulungnya sepulang sekolah, saat matahari terik membakar. Kedua orang tuanya telah bercerai, masing-masing menikah kembali dan memiliki keluarga baru. Sedangkan Aang tinggal di keluarga bibinya.
Terlepas bagaiaman latar belakang para siswa, semangat mereka untuk terus belajar perlu diapresiasi. Mungkin karena hal inilah yang membuat Pak Arfan begitu teguh untuk melanjutkan perjuangannya melalui Komunitas Pendidik Nusa. Waktu, harta dan tenaga siap ia korban untuk masa depan anak-anak yang jauh lebih baik.
Allah Zat Yang Maha Melihat dan tidak tuli. Empat tahun berselang, pada tahun 2018, beberapa relawan mulai terlibat aktif dan tergabung dalam struktur organisasi. Kala itu ada 5 orang mahasiswa IPB yang menginisiasi perombakan sistem kerelawan Komunitas Pendidik Nusa dari bersifat relawan, kini dibuat badan kepengurusannya. Tahun 2019, kegiatan Komunitas Pendidik Nusa yang tadinya hanya di tiga desa, bertambah menjadi lima desa. Jumlah relawan juga bertambah. Mulai dari tahun itulah Pak Arfan mulai menggiring agar kebaikan-kebaikan yang ditularkan tidak hanya di bidang pendidikan. Alasannya, masalah pendidikan itu masalah yang kompleks dan bisa jadi dampat sistemik dari pemasalahan sosial lainnya. Karena itu Pendidik Nusa mulai aktif di kegiatan-kegiatan sosial seperti memberikan layanan pengobatan gratis (bekerja sama dengan Rumah Sakit BAZNAS), turut serta selama 1 bulan membantu korban bencana longsong dan banjir Nanggung dan Tenjolaya, membangun instalasi air bersih (bekerja sama dengan SHAF dan IFANCA dari Amerika), bahkan berdakwah pada para pasien di salah rumah sakit swasta.
Perjalanan Pak Arfan dan keluarga dalam memberikan solusi konkret di dunia pendidikan membuat orang-orang yang mengenal mereka akan belajar banyak hal. Mulai dari makna kesederhanaan, pengorbanan, keikhlasan, perjuangan, dan harapan. Sangat sulit untuk menjelaskan poin-poin tersebut satu per satu. Barangkali bila ada kesempatan, kamu bisa ikut serta di satu atau dua kegiatannya.
1 komentar
Wah harus di publish nih
BalasHapus