Membangkitkan Kembali Top Peak Performance
Bismillahirrahmanirrahim
Baru saja, kamu sudah melakukan tahap awal dari upaya membangkitkan kembali top peak performance-mu, sebuah keadaan dimana kamu merasakan tengah berada di puncak tertinggi kehidupanmu. Saat itu adalah momen paling membahagiakan yang pernah kamu alami. Kamu menikmati setiap aktivitas yang kamu lakukan. Barangkali saat itu adalah saat dimana kamu mendapatkan pencapaian yang kamu idam-idamkan.
Mungkinkah top peak performance itu kembali kembali terulang? Ya, nyatanya sangat mungkin. Sebenarnya, top peak performance tidak terjadi tiba-tiba. Adanya top peak performance didukung oleh beberapa faktor yang secara sadar atau tidak sadar hadir pada dirimu kala itu. Untuk menghadirkan kembali top peak performance tersebut, tentu yang mesti dilakukan adalah menghadirkan kembali faktor-faktor pendukungnya.
1. Pause
2. Expanding
Kamu akan diajak untuk melakukan refleksi ke dalam dirimu. Kamu akan diminta memutar ulang kejadian yang kamu anggap peforma terbaik dalam kehidupanmu. Kemudian kamu diminta untuk menjawab beberapa pertanyaan berikut.
Apa yang kamu rasakan saat mengalami top peak performace? Bahagia? Haru? Bagaimana kejadiannya?
Apa manfaat yang bisa kamu rasakan dan bagikan jika kembali di top peak performance?
Saat berada di top peak performace, coba ingat kembali 3 kunci suksesmu kala itu!
Lalu, apa yang perlu kamu hadirkan kembali agar berada di top peak performance itu sekali lagi?
3. Focus - Insight
Pada proses ini, kamu diminta untuk memahmi pelajar penting apa yang bisa kamu dapatkan dari dua proses sebelumnya. Catatlah pelajar-pelajaran tersebut. Lalu pahami polanya.
4. Real Action
Terakhir, dari berbagai pelajaran dan pola yang telah kamu temukan dari proses-proses sebelumnya, kamu mesti merealisasikannya dalam bentuk aksi nyata agar hal tersebut tidak sekadar angan belaka. Bayangkan bagaimana dampak yang bisa kamu hasilkan jika pelajar-pelajaran (insights) yang telah kamu temukan sebelumnya, kamu eksekusi dalam aksi nyata.
Dalam merencanakan aksi, hal yang mesti kita pahami adalah setiap langkah besar dalam kehidupan selalu dimulai dari satu langkah kecil dan terdiri dari langkah kecil-langkah kecil lainnya. Karena itu, mulailah merumuskan aksi untuk satu hari ke depan, satu minggu ke depan, satu bulan, hingga perencanaan jangka panjang satu atau 5 tahun mendatang
*****
Walau kelas daring ini hanya berlangsung sekitar 120 menit, Coach Adam benar-benar menggali kenangan top peak performance setiap peserta. Ada sekitar 300 peserta yang hadir kala itu dan in sya Allah ada lebih dari ratusan bahkan ribuan doa yang dipanjatkan atas ilmu yang telah menginspirasi banyak orang. Aamiin.
Afran Damari, Orang Tua bagi Para Pelajar yang Terpinggirkan Keadaan
Bagi orang-orang yang mendalami dunia pendidikan, serta para orang tua dan guru, jika puluhan bahkan ratusan cabang ilmu tersebut akan diformulasikan menjadi sebuah kurikulum pendidikan, menginginkan agar anak-anak dapat mengenyam model pendidikan terbaik, cabang ilmu mana yang menjadi prioritas terlebih dahulu dipelajari?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, bayangkan seseorang yang tengah kehausan. Tentu hal aneh bila ia mengambil air langsung dari teko, menampungnya di telapak tangan, walau itu mungkin dilakukan. Hal pertama yang ia cari adalah sebuah gelas karena gelaslah yang akan menampung air yang ingin diminumnya.
Air tadi dapat kita alogikan sebagai ilmu atau pendidikan yang menjadi kebutuhan primer manusia. Maka sebelum memamen ilmu-ilmu tersebut satu per satu, manusia membutuhkan wadah untuk menampungnya.
Wadah yang baik akan mencermin bentuk air yang baik. Wadah gelas akan membuat air tersebut seperti gelas, berbentuk kapal akan membuat air menyerupai kapal, bahkan jika wadahnya didesain berbentuk seperti kotoran, sesuai dengan sifat air yang mengikuti bentuk wadahnya, air tersebut akan terlihat berbentuk kotoran.
Baik air yang ada dalam gelas, wadah berbentuk kapal, atau bahkan wadah berdesain kotoran, mau seperti apapun bentuknya, air tetaplah air, bersifat netral, baru berubah manis jika ditambah gulu atau menjadi asin jika tercampur garam.
Begitu juga dengan ilmu. Ilmu hitung bisa dijadikan alat oleh mereka yang gemar berjudi untuk mencari keuntungan. Di sisi lain, mempelajari bagaimana membobol sebuah jaringan komunikasi justru dapat menjadi pengetahuan berharga bagi sebuah perusahaan untuk meningkatkan keamanan jaringan mereka. Ilmu-ilmu tersebut tidak pernah baik atau jahat, sifat mereka ditentukan oleh siapa yang memanfaatkannya. Maka penting di dunia pendidikan untuk mempelajari “wadah” sebelum mempelajari lautan ilmu yang luas.
Maka pertanyaan selanjut, “wadah” apa yang mesti dipersiapkan? Mari kita perhatikan amanat pendidikan.
Banyak pakar, tokoh, bahkan juga tercantum dalam undang-undang, pendidikan bertujuan agar manusia menjadi insan yang beriman dan berakhlak mulia. Dua pokok ini menjadi tujuan utama. Terlepas seorang anak yang punya cita-cita ingin menjadi seperti Elon Musk dengan ide gilanya membawa koloni manusia ke Mars, atau Ibnu Hayyan dengan karya-karya fenomenalnya di bidang Kimia, atau praktisi pendidikan seperti Salman Khan, pengetahuan agamalah yang mesti dipelajari setiap anak di usia dininya. Keimanan berhubungan dengan keyakinan. Maka hanya agama yang dapat menjadi sarana seserorang menjadi beriman dan secara absolut menentukan akhlak mana yang benar dilakukan dan mana yang salah.
Lalu mengapa kurikulum pendidikan saat ini seolah-seolah mengesampingkan pendidikan agama, bahkan di sekolah-sekolah hanya dipelajari satu kali dalam semingu. Ini merupakan sejarah panjang yang barangkali akan kita diskusikan di lain kesempatan.
Tak dapat dipungkiri, Indonesia memang masih memiliki segudang pekerjaan rumah dalam membenahi sistem pendidikannya. Mulai dari korupsi dana pendidikan, sarana prasarana, ketimpangan distribusi tenaga pengajar di daerah-daerah, aksesibilitas, kompetensi guru dan sebagainya. Wajar, berbagai kritik dan masukan datang dari berbagai kalangan. Sisi positifnya, hal ini mengindikasikan bahwa banyak pihak yang memberikan perhatian di dunia pendidikan. Namun di sisi lain, kita lupa bahwa pendidikan Indonesia tidak seburuk yang kita kira.
Soal tingkat buta huruf misalnya. Pada awal kemerdekaan, 97 persen penduduk Indonesia buta aksara. Kini, data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan hanya tersisa 1,93 persen penduduk Indonesia yang buta huruf. Artinya, hanya dalam kurun waktu 75 tahun sejak merdeka Indonesia dapat melakukan percepatan di bidang literasi.
Kualifikasi guru juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2019, di tingkat sekolah dasar sekitar 79 persen guru sudah memperoleh standar pendidikan minimum guru setingkat S1 atau D4.
Optimisme menjadi kunci. Maka saat ditanya “Seberapa buruk pendidikan di Indonesia?”, cukuplah sebilah gagang sapu menjadi jawaban. Budaya pendidikan Indonesia tidak buruk-buruk amat, hanya tengah berbenah.
4 Hal Penting Sebelum Kamu Mulai Menyusun Tujuan dan Rencana Hidupmu
Selamat, setidaknya kamu sudah masuk dalam salah satu fase penting. Mark Twin pernah ngomong gini, “Dua hari paling penting yang terjadi dalam hidupmu adalah hari saat kamu dilahirkan dan hari saat kamu mengetahui mengapa kamu dilahirkan.”
Pertanyaannya, gimana sih caranya biar kita tahu tujuan hidup kita apa? Proses menentukan tujuan hidup itu gimana? Hal-hal mendasar apa yang membuat kita memilih A sebagai tujuan hidup, bukan B apalagi C? Terus, gimana caranya kita bisa yakin kalau tujuan hidup yang kita pilih itu adalah tujuan hidup yang benar dan bukan tujuan hidup yang salah?
Tapi sebelum kamu ngebahas itu semua, ada empat hal mendasar nih yang mungkin perlu kamu ketahui sebelum mulai merencanakan tujuan dan rencana hidupmu ke depannya. Empat hal mendasar ini, sangat dekat dengan kita, bahkan sering dan berulang-ulang kita baca, minimal 17 kali dalam satu hari. Allah sudah mengajarkannya ratusan bahkan ribuan tahun silam. Tinggal gimana kita mau mentadabburinya. Ya, semuanya ada dalam intisari surat Al Fatihah, surat yang menjadi pembuka seluruh surat yang ada dalam Al Quran.
1. Luruskan niat, niatkan karena Allah
Bagian pertama surat Al Fatihah, dimulai dengan sebuah statement, “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Kata “dengan” digunakan sebagai kata hubung dan kata keterangan atau adverb, seperti pada kalimat “aku menulis dengan pensil”. “Aku” sebagai subjek, “menulis” sebagai prediket dan “dengan pensil” sebagai kata keterangan yang menjelaskan dengan apa “aku” menulis.Secara gramatikal, kalau kita perhatiin susunan kalimat ayat pertama ini seolah nggak lengkap. Suatu kalimat, setidaknya harus dibangun oleh satu subjek dan satu prediket. Tapi coba perhatiin lagi ayat pertama dari Al Fatihah ini. Kalimat ini bahkan dimulai hanya dengan kata keterangan, tanpa subjek dan tanpa prediket. Kok gitu ya?
Imam At Thabari menjelaskan di kitab tafsirnya, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wilil Quran, kerennya bacaan basmalah di ayat pertama Al Quran itu justru karena subjek sama prediketnya nggak dituliskan secara kontekstual. Subjek dan prediket pada bacaan basmalah menyesuaikan konteks aktivitas yang sedang atau bakal kita lakuin. Misal kalau mau makan, maka subjek dan prediketnya jadi “Saya makan dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Kalau mau berangkat sekolah atau kuliah, kalimatnya berubah menjadi, “Saya berangkat dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Begitupun saat kita pengen nentuin tujuan hidup, kemudian sebelum ber-ikhtiar kita baca basmalah, maka arti kalimatnya menjadi “Saya ikhtiarkan A sebagai tujuan hidupku dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang”. Hal ini senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan beberapa perawi lainnya.
“Setiap perkara yang tidak dimulai dengan Bismillahirrahmanirrahim maka perkara itu ditolak.”
Ini yang jadi jawaban kenapa ayat pertama Al Fatihan ini nggak ada subjek sama prediketnya. Bila kita kaitkan dengan langkah-langkah atau proses kita nentuin tujuan hidup kita apa, maka mulailah dengan nama Allah, mulailah dengan meniatkan hal yang bakal kita lakuin itu karena Allah. Karena,
“Amalan-amalan itu hanya tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan.” H.R. Bukhari dan Muslim
Saat segala sesuatu diniatkan karena Allah, pedagang tak akan curang dalam timbangan, petani tak akan bermalas-malasan, PNS dan pejabat tidak akan korupsi, tak akan selewengkan uang rakyat walaupun tidak ada yang melihat. Begitu yang dijelaskan oleh Ustadz Abdul Somad di salah satu kajiannya.
Bayangkan bila itu juga kita lakuin dalam proses menentukan dan menjalani tujuan hidup yang kita pilih, kita tidak akan bermalas-malasan karena yakin dengan janji Allah yang sangat besar, kita tidak akan menzhalimi orang lain demi sebuah keuntungan karena kita tahu Allah selalu melihat segala aktivitas kita, kita tidak akan sombong saat keberhasilan sudah kita raih karena kita tahu semua itu pemberian Allah dan hanyalah titipan, begitu juga kita tidak akan putus asa saat menghadapi kegagalan karena kita yakin bahwa Allah tidak pernah menyia-nyiakan usaha hamba-Nya.
Jadi, pelajaran pertamanya adalah, sebelum kamu nentuin tujuan hidupmu apa, niatkan dulu untuk Allah. Karena dengan begitu, kamu akan punya tempat bersandar saat orang-orang memilih tak mau tahu, akan punya tempat meminta pertolongan saat orang-orang memilih acuh, akan punya tempat mencurahkan keluh kesah saat semua orang enggan mendengarkan, dan akan punya tempat untuk bersyukur saat kesuksesan itu berhasil kamu raih.
2. Kenali Ia, Agar Kamu Lebih Dekat dengan-Nya
Bagian selanjutnya dari Surat Al Fatihan bisa kita lihat pada ayat 2 sampai 4. Di tiga ayat ini, kita dikenalkan, “Allah yang jadi muara semua niatan kita itu, siapa sih?”. Diibaratkan kalau kita pengen kuliah, nggak mungkin dong kita kuliah tapi kagak tahu mau kuliah dimana. Atau misalnya mau belanja bahan dapur, nggak mungkin kan kita pergi ke tempat gym, atau ke sekolah sekalipun. Sudah pasti, kita bakal ke pasar atau warung yang jual bahan-bahan masakan. Sama kayak konteks sebelumnya, saat kita pengen niatin sesuatu karena Allah, nggak mungkin dong kita ngelakuin-nya tanpa tahu Allah itu siapa.3. Kenali Eksistensimu Sebagai Manusia
Selanjutnya, ayat kelima surat Al Fatihah menjadi sebuah ayat yang sangat penting buat ngelihat betapa kerennya surat Al Fatihah, yang mana ini juga menjadi alasan kenapa kita ngebahas empat hal mendasar yang perlu kamu perhatiin sebelum kamu nentuin tujuan hidupmu, dari kacamata surat Al Fatihah.Tadi kita udah ngebahas, kalau bagian pertama surat Al Fatihah ngejelasin tentang siapa itu Allah. Bahwa segala pujian hanya untuk-Nya, Dialah yang dipertuankan, bahwa Dia sangat peduli dan penuh cinta, bahwa Ia tidak menghukummu begitu saja, tetapi akan ada hari kiamat. Nah, kesimpulan dari semua ini apa?
“Aku ingin menjadi hamba-Mu”
Ya kan? Nah, dalam bahasa Arab, kalimat ini bisa kita terjemahkan menjadi,
“Hanya kepada-Mu lah aku menyembah.” yang merupakan salah satu penggalan ayat kelima dari surat Al Fatihah.
Setelah kamu mengenal Allah itu siapa, tahu kemana semua niat aktivitasmu kamu berikan, tidak cukup sampai di situ, buat kamu bisa nentuin tujuan hidupmu apa, kamu juga harus tau eksistensimu sebagai manusia, makhluk yang diciptakan Allah itu untuk apa. Mungkin sesekali kamu pernah kepikiran begini, “Kenapa ya saya yang akhirnya diciptakan Allah, padahal ada jutaan sperma yang berlomba-lomba saat masa pembuahan? Kalau pun saya yang terpilih, kenapa Allah menciptakan saya dalam wujud manusia, bukan ikan misalnya?” Nah pertanyaan-pertanyaan semisal ini akan mengarahkanmu pada jawaban eksistensimu sebagai manusia itu apa sih.
Mungkin ini adalah pertanyaan filosofis, yang proses mencari jawabannya butuh waktu yang tidak sebentar. Namun beruntunglah, Allah udah ngasih jawabannya dalam Al Quran. Jawabannya ada di surat Adz Dzariyat ayat 56.
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah kepada-Ku?” Q.S. Adz Dzariyat (51) : 56
Balik lagi ke poin pertama tadi. Karena, sudah seharusnya semua hal yang kita lakuin, semuanya diniatkan karena Allah. Saat segala sesuatu diniatkan karena Allah, dari perkara yang kecil seperti sikat gigi, makan, ngisi bensin motor, sampai perkara besar seperti kuliah, menikah, bekerja, semua aktivitas ini bakal bertransformasi menjadi aktivitas yang dinilai ibadah.
Nah, sekarang semuanya jadi nyambung, kan? Kita diciptain buat ibadah. Nah ibadah ini sendiri artinya luas. Jadi dokter juga ibadah. Jadi guru ibadah. Jadi presiden juga ibadah. Balik lagi ke poin pertama, semua tergantung niatnya gimana. Kalau diniatkan karena Allah, apapun cita-cita yang nanti kamu pilih, insyaAllah bakal jadi ibadah.
Jadi, sebelum kamu mulai nentuin tujuan hidupmu apa, kenali eksistensimu sebagai manusia. Kenapa ini penting? Karena dengan begitu kita menjadi sadar bahwa kita hanyalah makhluk yang lemah. Kita adalah manusia yang berposisi sebagai penyembah, bukan yang disembah. Ini juga bakal menjadi salah satu jalan agar kamu terhindar dari aktivitas-aktivitas yang sia-sia, nggak disibukkan sama urusan yang sebenarnya nggak berkaitan sama apa yang bakal kamu pengen raih. Nggak disibukkan dengan sifat iri saat melihat orang lain lebih terkenal karena kita yakin peribadahan kita tujuannya untuk lebih dikenal Allah, bukan manusia. Nggak disibukkan dengan perbuatan-perbuatan curang karena tak ingin aktivitas ibadah kita ternodai oleh dosa. Nggak disibukkan dengan rasa putus asa karena Allah janji bakal menolong hamba yang meminta pertolongan pada-Nya. Kenali eksistensimu sebagai manusia yang diciptakan Allah! Semoga dengan itu, kamu bisa terhindar dari sifat-sifat yang membuatmu sombong dan jumawa serta tidak merendahkan orang lain sepanjang perjalananmu mencapai impian yang pengen kamu raih.
4. Jangan Putus Berdoa, Sebelum, Ketika dan Sesudah
Sebelum masuk ke tahap akhir yang juga jadi poin paling penting, kita balik lagi ke ayat kelima surat Al Fatihah. Seperti yang dijelasin sebelumnya, setengah bagian pertama dari ayat kelima surat ini ngebahas soal apa yang kita berikan kepada Allah, yaitu berupa ibadah hanya untuk-Nya. Lalu, setengah bagian berikutnya?“dan hanya kepada-Mu aku meminta pertolongan.”
Kalau setengah bagian pertama ngejelasin apa yang kita berikan pada Allah, maka setengah bagian berikutnya ngejelasin apa yang ingin kita minta dari Allah, yang kemudian diperjelas di ayat keenam dan ketujuh. Apa yang pengen kita minta?
“Tunjukilah kami jalan yang lurus. Jalan yang Engkau beri nikmat pada mereka. Bukan jalan yang Engkau murkai dan bukan jalan orang-orang yang sesat.”
Terlepas dari apapun tujuan hidup yang bakal kamu pilih ke depannya, jangan lupa berdoa pada Allah, baik sebelum kamu memutuskan A menjadi tujuan hidupmu supaya Allah tunjukin jalan mana yang baik untukmu, ketika tujuan hidup itu kamu jalani agar Allah mudahkan segala kesusahan yang kamu alami selama menjalani proses panjang itu, dan setelah tujuan hidup itu berhasil kamu capai suapay kamu tidak jumawa dan sombong, serta mempersiapkan tujuan baru. Terlepas sebaik apapun perencanaanmu, sekeren apapun tools yang kamu gunain buat ngerancang rencana hidupmu, tanpa mengharapkan Allah dalam setiap langkah yang kamu lalui hanya menjadikan kamu makhluk yang sombong. Masih untung kalau jalan yang kamu tapaki bener, kalau salah? Nah, siapa yang lebih tahu jalan yang kita pilih itu benar atau salah selain Allah?
Karena itulah, poin terpenting sekaligus rangkuman dari poin pertama sampai ketiga tadi sebenarnya adalah kita menyadari sebaik apapun rencana yang kita pilih, sekeren apapun perencanaannya, kita cuma makhluk lemah yang nggak bisa memastikan hasil akhir dari setiap proses yang kita pilih. Karena itu jangan lupa berdoa dan jangan berhenti berdoa.
__________
Tulisan ini merupakan intisari dari materi Ustadz Nouman Ali Khan tentang Surah Al Fatihah
Ada yang begitu mendapatkan gelar sarjana, melamar di perusahaan swasta, memperoleh penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhan hidupnya bahkan membantu masyarakat di sekitarnya.
Tak sedikit yang sejak usia muda walau tak mengenyam pendidikan formal sudah mulai meristis usaha. Jatuh bangun tak membuat semangatnya sirna. Hingga Allah bukakan kesempatan untuknya melebarkan sayap bisnis ke seberang benua.
Ada juga yang melalui kegemarannya merangkai kata demi kata, ia torehkan jutaan hikmah dalam karya-karya penuh makna.
Memang kebanyakan dari mereka tidak sukses dalam percobaan pertama. Namun pelajaran berharga apa yang dapat kita petik dari mereka? Tujuan akhir. Layaknya anak panah yang akan melesat tajam, mereka telah menentukan sasaran yang dijadikan bidikan.
Maka visi membuat mereka melesat.
Lalu untuk kita yang merasa sudah memantapkan, mengapa hingga saat ini tak mendapati diri setidaknya sama suksesnya dengan mereka yang telah lebih dulu berjuang?
Mungkin kita lupa, “Roma” yang menjadi analogi dari sebuah pencapaian memiliki banyak jalan yang dapat ditempuh. Maka sebagai contoh, untuk visi mendapatkan perhatian Sang Pencipta, Khalid bin Walid memilih jalan sebagai pejuang yang selalu merindukan medan laga, Abu Hurairah menjadi sahabat yang paling banyak meriwatkan hadits melebihi sahabat-sahabat lain yang lebih dulu terikrar keislamannya, dan Utsman, walau dengan berbagai nikmat harta yang Allah karuniakan, ia menjadi sahabat yang gemar berderma.
Tak ada keraguan dari setiap langkah yang telah mereka azzamkan. Maka bagaimana mungkin kita yang telah mengikut jejak mereka yang telah sukses tidak mendapatkan hasil yang sama?
Melihat mereka yang berhasil mencapai “Roma” dari jalur utara mungkin membuat kita tergiur, “Sepertinya jalur utara lebih meyakinkan”. Padahal kita yang sudah bergerak dari arah Barat, cukup lurus beberapa puluh kilometer lagi, tetap akan mencapai Roma. Alhasil, hati yang bimbang membuat kita mengambil jalan memutar. Bayangkan bila hal ini kembali terjadi saat kita telah mencapai utara, kembali tergiur melihat mereka yang meraih sukses dari jalur timur atau tenggara. Ketidakkonsistenan menempuh suatu jalan mungkin menjadi jawaban dari pertanyaan kita sebelumnya.
Maka setelah visi, keistiqamahan menjadi kunci. Memang mudah diucapkan namun sulit saat dilaksanakan. Tapi bukankah Allah telah mengajarkan sebuah doa yang dapat kita panjatkan” "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)".
Semoga diri ini dapat menjadi pribadi yang istiqamah dalam kebaikan.


