Bani Kosim Part 4 (Akhir)

By Muhammad Abdi Ridha - Desember 23, 2021


Perjalanan yang akan kami tempuh berjarak sekitar dua kilometer. Pak Agud tidak bersama kami. Saat adzan Ashar berkumandang, ia pulang, membersihkan diri agar bisa lebih nyaman dalam melaksankan shalat. Kebetulan jalan yang akan kami tempuh juga melewati rumah Pak Agud, jadi kami singgah sejenak di rumahnya. Di halaman depan, tampak sebuah posko multifungsi. Posko ini digunakan sebagai tempat berkumpul anggota BKP, juga menjadi perpustakaan mini serta posko pemantauan salah satu instalasi air.

“Belum pulang,” jawab seseorang saat Pak Agus bertanya ke salah satu penghuni rumah. Aneh, bukannya Pak Agud pulang lebih dulu? Bukankah seharusnya dia lebih dulu sampai?

Sembari menunggu Pak Agud datang, Pak Agus menjelaskan bagaimana manajemen instalasi air ini bekerja. 

Dari instalasi air ini, warga hanya diwajibkan membayar iuran bulanan melalui masjid atau mushala. Kenapa harus masjid atau mushala? Ini adalah cara dari sahabat-sahabat BKP untuk menghidupkan masjid. Besaran iurannya juga tidak ditentukan. Dari iuran bulanan tersebut, sebagiannya akan dialokasikan untuk infak masjid dan sebagian yang lain digunakan untuk biaya perawatan.

Ada dua sistem pengairan yang digunakan. Jika mata air berada di bawah lokasi pemukiman penduduk, instalasi air harus menggunakan mesin air. Ini cukup membebankan biaya operasional. Pak Agus memperlihatkan salah satu contoh sistem instalasi ini yang berada tepat di belakang posko BKP.

Sistem yang kedua adalah sistem yang akan kami lihat nanti. Memanfaatkan sumber air yang berada di pegunungan yang lebih tinggi dari pemukiman, sistem ini lebih menghemat biaya karena hanya perlu membangun instalasi pipanya saja. Hukum gravitasi lah yang nantinya akan mengalirkan air tersebut ke rumah-rumah warga.

Selang sepuluh hingga lima belas menit, Pak Agud yang kami tunggu tiba. Tapi Pak Agus memutuskan saya dan ia berangkat lebih dulu, Pak Agud menyusul kemudian. Sepertinya Pak Agus belum sempat membersihkan diri, entah dari mana dia tadi. 

Jalan yang kami lalui cukup lebar dan beraspal. Setelah melewati sebuah pesantren, mengambil jalan lurus di pertigaan jalan, lebar jalan semakin sempit, kira-kira hanya bisa dilalui satu buah mobil saja. Medannya menanjak dan berkelok. Tapi pemandangannya indah, hijau dan menenangkan.

Baru berjalan beberapa ratus meter dari pertigaan jalan tadi, Pak Agus memberhentikannya motornya, mengajak saya melihat salah satu pipa instalasi air yang telah terpasang. Saat penutup sambungan pipa dibuka, air yang terpancar menjulang tinggi. Debit airnya besar. Pak Agus menjelaskan, kalau sambungan instalasi air ini masih terputus dan belum menjangkau rumah warga secara keseluruhan. Saya tahu, biaya menjadi kendalanya.

Kami melanjutkan perjalanan. Jalan yang kami lalui semakin sempit dan hanya bisa dilalui dua buah sepeda motor. Kemudian jalannya tak lagi beraspal, hanya beralaskan batu yang disusun sembarang, kemudian hilang menyisakan tanah liat licin bekas hujan tadi siang. Cukup sulit mengendalikan motor di medan seperti ini.

Untunglah medan ekstem itu tidak berlangsung lama, mungkin sekitar seratus sampai dua ratus meter saja. Perjalanan dilanjutkan berjalan kaki ke lokasi toren penampungan air. Dari sinilah, kita menyadari bahwa kita benar-benar berada di atas perbukitan. Sekeliling kami tampak lembah dan hutan. 

Di sana berdiri sebuah saung kecil. Tampak seorang laki-laki yang saya taksir berusia enam puluh tahunan tengah beristirahat. Kami pun berkenalan. Tak berselang lama, seorang laki-laki dengan usia yang lebih muda ikut menghampiri kami. Tak jauh dari saung, ada seorang lelaki yang tengah mengecek kondisi toren penampungan.

Berlatar kampung yang rindang di atas saung, Pak Agus melanjutkan ceritanya. Pada mulanya, masyarakat di sini harus turun menuju sungai untuk memperoleh sumber air. Bahkan ada yang harus ke sungai di desa berbeda. Perjalanan yang mereka habiskan untuk mendapatkan air bersih sekitar dua sampai tiga jam perjalanan pulang pergi. Pergi untuk membersihkan keringat, pulang berkeringat lagi. Kemudian Pak Agus bersama teman-teman BKP lainnya mencoba memanfaatkan sumber mata air yang ada.

“Itu,” tunjuk Pak Agus ke sebuah bukit di seberang lembah sana. Di sana lah lokasi mata air yang menjadi sumber pengairan kampung ini.

“Berapa jaraknya Pak?” tanya saya.

“Dua belas kilo.” Saya terperangah, seolah tak percaya. “Rencana mau ngajak jalan ke sana, tapi jalannya susah,” jelasnya.

Dua belas kilo untuk mendapatkan sumber air. Sebagai gambaran, kampung ini berada di Kecamatan Leuwiliang sedangkan sumber air bersih yang berada di lahan Perhutani itu berada di Kecamatan Nanggung. Jika menggunakan sepeda motor dari kantor Kecamatan Leuwiliang ke kantor Kecamatan Nanggung, melalui jalan utama saja itu masih membutuhkan waktu empat puluh menit sampai satu jam perjalanan. 

Rasa kaget saya tidak berhenti di situ. Dari total dua belas kilometer, melewati lembah dan hutan, hanya sekitar lima sampai enam kilometer saja yang bisa dilalui sepeda motor dengan medan jalan tanah licin seperti tadi. Selebihnya perjalanan ditempuh dengan berjalan kaki.

“Di kampung, lokasi yang terakhir kali bisa dilalui motor tadi, saat kita pasangkan instalasi air ke warganya, mereka bahkan tidak tahu bagaimana menggunakan kran air,” jelas Pak Agus. Ya, kalian tidak salah dengar. “Ada ibu-ibu bahkan nanya, ‘Ini cara pakenya bagaimana Pak?’” lanjutnya.

Jangan bayangkan saya tengah berada di pelosok Kalimantan, atau sedang menjelajah bumi indah Papua. Kampung Cengal ini ada di Bogor, Kabupaten yang untuk menuju ibu kota saja cukup dengan commuter. Saya tidak sedang berada di pelosok Indonesia, namun keterpencilan ini justru saya temui di daerah yang berjarak beberapa kilometer saja dari ibu kota.

Kami bercerita banyak hal dan tentu saya belajar banyak dari Pak Agud, Pak Agus, para relawan BKP dan warga-warga yang kebetulan ikut berdiskusi bersama kami. Sayang pertemuan kami hari itu harus dicukupkan, kulirik saat itu sudah pukul lima sore. Ingin bercerita lebih lama lagi, tidak perlu diganggu gawai karena memang tidak ada sinyal, tapi jika dilanjutkan saya tidak percaya diri pulang saat gelap dengan medan seperti ini. 

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar