Bani Kosim (Part 2)

By Muhammad Abdi Ridha - Desember 17, 2021

Saya disuguhkan segelas kopi hitam hangat dan risol, tidak pula sambal sebagai pelengkap. Kami duduk di teras rumah, bertiga ditemani seorang bapak yang bertubuh lebih kurus yang saya taksir berumur kepala lima.

“Yang sebelumnya saya hubungi itu Bapak yang mana ya Pak?” tanya saya basa-basi. Entah karena kebetulan, sepintas saat saya menanyakan siapa yang bernama Pak Agus, bapak yang kurus ini seolah-olah ragu-ragu menyahut. Bisa jadi dua-duanya bernama Agus.

“Saya,” jawab Bapak bertubuh gempal tadi. Tebakan saya benar. “Tapi nama saya bukan Agus,” lanjutnya. “Saya Agud. Kalau Bapak Agus yang ini,” sambil menunjuk bapak yang bertubuh kurus.

Oalah. Dasar bapak-bapak, perkara nama saja bisa membuat kami tersenyum bersama. Saya juga ikut tersenyum. Apa ini artiya saya juga sudah menjadi bagian dari mereka, generasi bapak-bapak yang luluconnya selalu terdengar garing dan receh?

“Agus itu nama Bapak saya juga lho Pak.” Saya coba membuat diri saya lebih dekat dengan mereka. Kesamaan terkadang menjadi alat sederhana agar kita diterima di linkungan baru.

“Nama Agus sudah jadi nama umur,” jawab Pak Agus dengan nada bercanda.

Sekilas sebelum berangkat, sebenarnya saya sempat mengecek profil Pak Agud di akun pesan singkatnya. Foto profilnya memperlihatkan ia yang memakai baju kaos kuning dengan kerah berwarna merah, peci putih bermotif garis hitam, sedang melakukan ancang-ancang sebelum melepas tembakan di atas meja biliar. Juga tertulis “Agud” pada status profilnya. Saya pikir, beliau salah menulis huruf “s” dengan huruf “d”. Maklum bapak-bapak, pikir saya. Terlebih huruf “s” dan “d” bersebelahan pada keyboard QWERTY.

“Salam kenal Pak, saya Abdi. Sebelumnya saya sudah menghubungi Ustadz Rofiudin, tapi beliau sakit ya?”

“Iya beliau sakit. Ini rumahnya,” jawabnya sambil menunjuk rumah yang terasnya sedang kami tempati.

“Kalau BKP itu apa ya, Pak?” tanya saya lebih lanjut. Melalui pesan singkat Pak Agud mengatasnamakan dirinya bagian dari BKP.

“BKP itu Bani Kosim Peduli,” jawab Pak Agus. Apa yang beliau ceritakan berikutnya, membuat saya kagum.

Kosim adalah nama kakek mereka, seorang da’i dari Banten yang merantau ke kampung tersebut berpuluh tahun silam untuk mendakwahkan Islam. Ia menikah dengan wanita setempat dan akhirnya menetap. Terhitung dari Kosim, saat ini sudah ada keturunan ketujuh. Pak Agus adalah paman dari Pak Agud yang baru berumur empat puluh tahunan. Ustadz Rofiudin yang menjadi tujuan awal saya juga bagian dari keluarga mereka.

“Jumlah anggota (keluarga) saat ini berarti ada sekitar seratusan Pak?” tebak saya. Saya pikir itu, dengan keturunan ketujuh, angkanya berkisar seratus sampai tiga ratusan.

“Lebih, 3000,” jawab Pak Agus bersemangat. Saya terperangah. Tapi setelah dihitung-hitung, itu angka yang wajar. Berdasarkan cerita Pak Agus dan Pak Agud, setiap orang di keluarga mereka bisa memiliki lima sampai enam orang anak. Anggota keluarga mereka bertumbuh secara eksponensial.

Pak Agus melanjutkan ceritanya mengenai KKB, hal itu bermula pada tahun 2013 saat keluarga besar ini sudah tersebar di berbagai daerah seperti Jambi dan Sulawesi Selatan. Salah satu anggota keluarga mereka berada dalam kondisi yang memprihatinkan, rumah yang hampir ambruk namun keluarga yang lain seolah tidak perhatian. Saat itu lah, mulai terngiang-ngiang kegundahan, salah satunya pada diri Pak Agus yang sejak tahun 2000an aktif di berbagai kegiatan kerelawanan. “Bagaimana mungkin kita membantu orang lain, sedangkan keluarga sendiri saja tidak diperhatikan.”

Dimulai lah gerakan Bani Kosim Peduli, sebuah gerakan sederhana sesama anggota keluarga untuk saling peduli. Gerakan tersebut semakin besar, yang mulanya hanya untuk saling bahu-membahu sesama saudara, kemudian menjadi solusi atas kondisi masyarakat di tempat tinggal mereka, dan kini manfaatnya sudah merambah luas di masyarakat. Beberapa lembaga nirlaba juga tertarik mengajak mereka berkolaborasi. Mereka juga berangkat membantu korban erupsi Semeru yang terjadi beberapa waktu lalu. Keluarga “kecil” ini juga turut ambil andil saat penanganan bencana longsong Bogor awal tahun 2020u, membangun 53 rumah darurat untuk para penyintas bencana.

Mereka juga menjadi jalan mengalirnya sumber-sumber air ke rumah-rumah masyarakat setempat, membangun tujuh titik instalasi air yang tersebar di dua desa, yang mana cerita air ini lah yang membuat saya tertarik untuk berkunjung, mendengar cerita langsung dari sumbernya.

Saya jadi teringat kisah bagaimana Rasulullah berdakwah. Sesuai titah Allah, ia dakwahkan Islam mulai dari keluarga terdekatnya seperti Ali, Zaid dan Khadijah. Terlihat kecil, namun menjadi titik awal Islam menyebar layaknya air bah.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar