“Saya lagi di belakang balai desa, lagi bikin tempat wudhu buat anak-anak pengajian,” balas Pak Agus setelah lebih dari 30 menit saya mengirimkan pesan.
“Kira-kira apakah boleh silaturrahmi ke sana Pak?”
“Sangat boleh sekali. Dengan senang hati,” balasnya menjelang azan zhuhur berkumandang.
Siang itu, bermodalkan motor matic pinjaman, tidak lupa satu set jas hujan yang juga milik teman, saya berangkat menuju Kampung Cengal, Desa Karacak, Kecamatan Leuwiliang. Selintas melalui Google Map, lokasinya berjarak sekitar 16 km ke arah Barat atau memakan waktu sekitar 40an menit perjalanan. Indikator bensin sudah mengkhawatirkan. Namun melihat jarum jam yang menunjukkan jam satu lebih sedangkan saya sudah berjanji pukul dua sudah sampai lokasi, dengan nekat saya langsung tancap gas tanpa mampir dulu di pom bensin terdekat. Harap-harap cemas semoga persediaan bensin yang ada cukup, minimal untuk sekadar perjalanan pergi.
Setelah sekitar 30 menit perjalanan, tiba di pertigaan Kecamatan Leuwiliang, lalu bertolak ke arah selatan, mengambil jalan ke kiri menuju kantor kecamatan. Setelah lurus sekitar satu hingga dua kilometer, langit yang sedari tadi mendung akhirnya hujan. Berhenti di salah satu toko swalayan bersama beberapa pengendara lainnya, saya bertedu sambil menyiapkan jas hujan, kemudian melanjutkan perjalanan di tengah semakin derasnnya hujan.
Seingat saya, Balai Desa Karacak tidak jauh dari kantor kecamatan. Untuk memastikan, saya menyapa salah seorang, menanyakan seberapa jauh lagi tujuan saya.
“Masih jauh, nanti di tanjakan,” jelasnya. Gambaran saya, “jauh” itu hanya berjarak satu hingga dua kilometer lagi saja, sesuai dengan gambaran yang saya lihat melalui Google Map. Namun setelah berkendara cukup jauh, barulah saya menemukan jalan yang sedikit menanjak. Saya kembali bertanya ke salah seorang ibu-ibu di pinggir jalan, masih di tengah guyuran hujan yang membuat saya sulit memastikan arah perjalanan menggunakan smartphone.
“Masih jauh. Nanti dekat PLTA.” Di situlah saya sadar, gambaran perjalanan yang saya lihat sepintas di Google Map sebelum berangkat salah. Mungkin karena melihatnya di smartphone dengan layarnya yang kecil, jarak berkilo-kilo meter justru saya bayangkan berjarak hanya beberapa lemparan batu saja.
Sayangnya sesampai di wilayah PLTA yang dimaksud, saya tidak menemukan satupun petunjuk jalan yang menunjukkan balai desa. Perjalanan saya lanjutkan hingga setelah saya rasa terlalu jauh dari lokasi PLTA, saya kembali bertanya pada salah satu warga yang saya temui di pinggir jalan. Kala itu, hujan turun rintik-rintik.
“Kelewat,” jawabnya. Alhasil putar balik ke lokasi PLTA, berhenti di salah satu warung yang saat itu ramai muda-mudi sedang berteduh, bertanya pada salah seorang di sana dan ternyata balai desanya ada di sebelah.
Saya hendak menghubungi kembali Pak Agus, mengabarkan bahwa saya telah di balai desa dan setelah ini harus kemana. Qadarullah, tidak ada sinyal internet ataupun seluler. Pilihan saya hanya menyusuri bagian belakang balai desa, sesuai dengan petunjuk yang diberikan Pak Agus melalui pesan singkat.
Untunglah, berjarak sekitar 3 rumah di belakang balai desa, tampak beberapa orang tengah bekerja bangunan. Saya coba menyapa, bertanya apakah di antara ada yang bernama Pak Agus.
“Saya,” jawab seorang Bapak bertubuh sedikit gempul dengan ramah.
1 komentar
Gembul? Gempal? Gempul?
BalasHapus