Aku tidak pernah membayangkan akan bergelut di dunia pendidikan, apalagi menjadi seorang guru. Guru menurutku menjadi sosok, yang mohon maaf, sedikit membosankan. Walau masa kecilku penuh dengan gonta-ganti cita-cita, kebanyakan bercita-cita menjadi ilmuwan karena terinspirasi dari cerita Ibnu Sina, Ibnu Haitsam, Galileo Galilei atau Thomas Alfa Edison, tidak pernah terbesit sedikitpun untuk menjadi seorang guru. Satu kali pun tidak.
Seiring berjalannya waktu, tepatnya mulai kelas dua madrasah tsanawiyah beberapa orang mulai menunjukkan bagaimana menariknya dunia pendidikan kepadaku. Salah satunya Ustadz Arbi Syafri Tanjung, guru sejarahku di madrasah tsanawiyah yang berasal dari Sumatera Utara. Perawakannya tinggi besar dengan rangka wajah segi empat khas orang batak. Kulitnya putih. Suaranya selalu menggelegar setiap berbicara didukung oleh gerak tubuhnya yang senada, walau terkesan sedikit kaku karena otot-ototnya.
Selama ini pendidikan menurutku merupakan sebuah aliran monoton. Guru menulis materi di papan tulis yang kala itu masih bewarna hitam dengan kapur sebagai alat tulisnya. murid menyalinnya di buku masing-masing kemudian guru menerangkan kembali materi yang telah ditulis. Jika guru menilai murid telah mengerti apa yang diajarkan, diberikan beberapa soal latihan. Tidak cukup sampai disana, untuk memantapkan pemahaman para murid guru memberikan beberapa pekerjaan rumah. Begitu terus dan berulang.
Namun tidak dengan Ustadz Arbi. Beliau mengajar layaknya berorasi, bermodalkan suaranya yang keras. Pada suatu kesempatan beliau mencceritakan bahwa orang Batak itu asal usulnya dari bukit atau gunung, karena itu untuk memanggil satu sama lain harus berteriak.
"Kami kelaur dari hutan bambu." Begitu kira-kira penjelasannya.
Karena Ustadz Arbi mengajar mata pelajaran sejarah, proses belajar dimulai dengan bercerita dan sesekali disisipi pertanyaan-pertanyaan ringan supaya murid ikut berpartisipasi. Kemudian kami tidak disuruh untuk menulis, namun menggambar materi dalam bentuk mind map. Pertama kali ku tahu bahwa menggambar juga bisa menjadi media belajar.
Mind map merupakan sebuah teknik mencatat dengan menggambarkan materi sebagai sebuah peta pikiran yang saling terhubung. Topik utama pelajaran diletakkan di pusat yang disimbolkan sebagai otak. Sub-bab materi digambarkan berupa garis-garis neuron yang menyebar dari pusat otak. Masalah-masalah di masing-masing sub-bab digambarkan dalam bentuk garis cabang dari garis sub-bab materi.Berbeda dengan teknik mencatat biasa, catatan digambarkan dalam animasi visual yang mewakili satu atau beberapa kata. Sebagai contoh, saat menulis "Sejarah Kemerdekaan Indonesia" sebagai topik utama pelajaran di bagian pusat mind map, tulisan tersebut dituliskan berupa rangkaian gambar. Kata "sejarah" dituliskan dengan menggambar sebuah kertas usang bertuliskan "history" sedangkan kata "kemerdekaan Indonesia" dituliskan dalam bentuk gambar seorang pejuang yang sedang memegang bendera merah putih yang diikatkan pada sebuah bambu.
Sistem belajar seperti ini sangat baru bagiku, begitu juga dengan teman-teman yang lain. Alhasil, didukung oleh kepiaiannya dalam menarik perhatian murid-murid melalui beragam cerita-cerita ditambah metode belajar mind map ini, pelajaran menjadi mata pelajaran yang tidak membosankan. Saat itulah yang menjadi salah satu momen bagiku betapa kerennya seorang guru, walau hanya sebatas terkesan dan sosoknya dan belum berimbas pada angan-angan untuk menjadi seorang guru. Setidaknya Ustadz Arbi berhasil mematahkan persepsi awalku bahwa menjadi guru itu membosankan.
