Aku, Diki dan Sebuah Kejutan

By Muhammad Abdi Ridha - Maret 26, 2018

Kala itu mula bulan Agustus. Panen raya durian kampung sudah lama berlalu. Hari itu juga adalah hari pertama proses belajar mengajar semester baru. Sekolah yang mulanya tenang tiba-tiba dikejutkan suara letusan dari ruang laboratorium sekolah.

Duaaarrr!

Beberapa anak berlari mendekat, penasaran dengan suara yang masih didengar Aal dan Uul, dua keponakan kembarku yang tengah mandi di sungai belakang sekolah. Tak terkecuali guru-guru. Pagi itu upacara bendera terpaksa bersabar beberapa menit sebelum akhirnya dimulai.

Adalah Diki, siswa baru kelas satu yang tengah mengotak-atik peralatan laboratorium yang mungkin ruangannya lupa dikunci Pak Maman, penjaga sekolah kami tadi malam. Dengan terkekeh-kekeh, dia tunjukkan tangannya yang penuh busa dan warna. Di sampingnya ku lihat berceceran detergen sabun, beberapa senyawa kimia yang tak ku tahu apa namanya, sebuah botol kaca yang pecah dan air yang membasahi hingga lantai laboratorium. Entah bagaimana ia membuat bunyi ledakan besar dengan bahan-bahan itu.

Alhamdulillah, untunglah Diki tidak apa-apa. Hanya kotor dan basah di beberapa bagian.

Tiba-tiiba derap langkah cepat namun terdengar berat itu mendekat. Pak Kasim, kepala sekolah kami yang terkenal galak di kalangan siswa-siswi SMP ini berteriak.

“Ada apa ini?” tanyanya dengan hardikannya yang khas, sedikit serak dan sangau. Dilihatnya alat dan bahan lab yang bercecer di sekitar. Tambah piaslah muka merahnya. “Siapa yang melakukan ini?” hardiknya lagi.

Belum lepas satu mulut pun bercakap menjawab, matanya tertuju langsung pada Diki. Ditariknya tangan bocah kecil berambut ikal itu ke luar lab, dibawa ke lapangan sekolah. Ku lihat Diki sedikit meringis menahan kuatnya tangan Pak Kasim yang memegang tangannya.

Pagi itu upacara terpaksa sedikit tertunda. Seluruh siswa dan guru-guru sibuk menonton Pak Kasim yang tak henti-hentinya berceramah di depan muka Diki yang sudah pias. Beberapa siswa terlihat kasihan, beberapa makin geram dengan galaknya kepala sekolah kami, beberapa yang lain malah tertawa sambil memuji Diki sebagai sang maestro, berani mencari masalah dengan bosnya sekolah.

Belum puas ternyata Pak Kasim, dibawanya Diki ke ruangan kepala sekolah. Ceramah itu kembali berlanjut. Sebab menunggu kepala sekolah, upacara terpaka ditunda tiga puluh menit lamanya.

Itu lah pertemuan pertamaku dengan Diki, siswa tahun pertama kami setelah pengalamanku dua tahun mengajar sebagai guru fisika di SMP ini. Semenjak itu, kompak teman-temannya memanggilnya “Profesor”.

***** 

“Kenakalan” Diki terus berlanjut selama satu tahun aku mengajar di kelasnya. Setiap materi yang kuajarkan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru baginya. Beberapa pertanyaan masih bisa ku jawab, beberapa yang lain hanya ku jawab sedikit berkilah.

“Diki, kamu penasarankah jawabannya? Nah karena itu Bapak tantang kamu kuliah tinggi-tinggi. Kau kejar jawaban itu. Rangkul, peluk dan jangan kau lepas pertanyaan-pertanyaanmu itu. Kunjungi negara jauh. Telusuri pernak-pernik rahasia alam. Kamu susun potongan mozaik sains dari ilmu-ilmu yang kau dapat. Hingga pada akhirnya, dunia akan mengakui bahwa Indonesia masih memiliki anak cerdas bak Pak Habibie” jawabku sedikit berpuisi.

Menurutku Diki anak yang cerdas. Rasa penasarannya yang tinggi yang terkadang membuatnya lepas kendali mencoba sesuatu, mungkin membuat beberapa guru wanti-wanti saat mengajar di kelasnya. Tapi begitulah mereka, begitulah anak-anak, punya sejuta keajaiban dalam dunianya.

Suatu hari, Diki mengemukakan sebuah konsep yang menarik perhatianku.

“Pak, berarti kalau sesuai hukum kekekalan energi, energi itu tidak bisa dimusnahkan kah ya, tapi hanya bisa diubah. Dan jumlah energi dalam sebuah sistem tertutup tidak akan berubah, selalu sama,” argumennya kala itu.

“Ya, lalu?” tanyaku.

“Kenapa kita tidak memanfaatkan kekekalan energi itu Pak untuk menghemat energi?”

“Maksutnya?”

“Hmm.. jadi begini. Contoh, saat kita menyalakan komputer, energi listrik berubah menjadi banyak energi untuk menyalakan dan mengoperasikan komputer. Tapi ada energi yang terbuang saat energinya berubah menjadi energi panas. Kenapa kita tidak membuat sebuah sistem yang merubah energi panas tadi menjadi energi lagi?” Dia diam sejenak. Lalu dia beranjak mendekati jendela kelas, menunjuk sebuah mobil sedan hijau yang terparkir di depan halaman sekolah.

“Nah, itu dia. Contoh lain Pak. Contohnya mobil itu. Pembakaran bahan bakar menghasilkan banyak energi yang dibutuhkan mobil melalui serangkaian sistem. Salah satunya energi kinetik yang membuat mobil itu bergerak, membuat ban mobil itu berputar. Kita kan sudah diajari kalau putaran suatu benda, contohnya kincir angin, dapat dijadikan sumber energi. Nah, kan sayang Pak ban mobilnya cuma muter, padahal bisa jadi sumber energi baru.” terangnya lagi sambil tersenyum, yakin bahwa idenya sangat brilian.

O, aku mengerti maksutnya. Beberapa murid terlihat sulit memahami. Idenya bagus. Sangat bagus malahan. Sepulang sekolah, ku minta dia untuk menemuiku di ruang guru.

“Ini baca.” Ku serahkan selembar poster pada Diki yang baru saja masuk ke ruangan guru. Meja kerjaku persis berada di pintu masuk.

Lomba Proyek Ilmiah Olimpiade Sains Provinsi. Judul poster itu terpampang jelas dengan ukuran huruf besar dan berwarna terang, berbeda dengan latar belakang posternya yang berwarna gelap. Lomba ini diadakan oleh salah satu perguruan tinggi untuk siswa-siswi menengah pertama.

“Apa ini Pak?” tanyanya.

Aduh, pikirku. Tidakkah bisa kau baca sendiri tulisan besar itu.

“Itu ada lomba, bisa kamu ikuti. Lombanya gratis tapi harus diikuti dalam bentuk regu atau kelompok. Satu kelompok terdiri dari tiga siswa dan satu guru pendamping. Batas waktu pengerjaannya tiga bulan lagi,” terangku singkat.

“Berarti kita hanya perlu membuat prototype ide kita Pak?” tanyanya sekali lagi setelah membaca lamat-lamat poster yang ku berikan.

“Ya, dan Bapak tertarik dengan ide kamu tadi di kelas.” Maka siang itu kami diskusikanlah ide proyek ilmiah yang akan kami kerjakan setelah Diki membawa dua orang temannya yang ingin dijadikan teman satu regu. Kepada Pak Rahmat, guru fisika yang lebih senior ku minta untuk membimbing mereka.

Ide itu akhirnya tercetus. Sedikit merubah ide yang dilontarkan Diki. Merubah energi kinetik dari perputaran ban mobil menjadi energi listrik kembali bukan mustahil, namun sedikit tidak efisien. Akan ada beberapa energi kinetik yang terbuang karena terpakai untuk memutar turbin yang akan mengubah energi kinetik menjadi energi listrik.

Karena itu, Pak Rahmat mengusulkan bagaimana bila tekanan dari ban mobil yang diubah menjadi energi. Prinsipnya cukup sederhana. Pada bagian dalam ban, mengikuti lingkaran velg ban, diletakkan beberapa panel tekanan yang akan bergerak seiring ban menekan panel itu saat menyentuh aspal. Tekanan yang timbul akan menggerakkan panel di dalam ban, seperti gerakan piston dalam mesin mobil, lalu akan diubah menjadi energi listrik. Pada percobaan pertama saat mobil bergerak sejauh satu kilometer, sistem ini dapat menghasilkan lima watt energi.

***** 

Saat ku ingat-ingat, hari itu adalah hari yang membahagiakan bagi sekolah kami. Diki bersama dua temannya yang dibimbing oleh Pak Rahmat berhasil menyabet medali emas di ajang Lomba Proyek Ilmiah Olimpiade Sains Provinsi. Beberapa wartawan lokal turut hadir meliput kala itu. Keesokan harinya, koran-koran lokal menulis dengan tajuk “Energi alternatif dari ban mobil”. Dua minggu berikutnya, datang surat dari provinsi, undangan bagi Diki dan timnya untuk mengikuti Pameran Inovasi Energi bagi Pemuda Asia di Tiongkok. Berita baik kembali hadir, Diki dan timnya kembali membawa pulang medali emas.

Keesokannya, kini giliran media nasional yang gencarnya mempublikasi berita dengan tajuk “Mengharumkan Indonesia di Kancah Internasional, Kelompok Siswa SMP ini Menyabet Medali Emas di Taiwan”. Berselang dua minggu, Diki dan timnya kembali diundang di salah satu acara pemerintah daerah. Harapan besar muncul, setidaknya begitu pikirku saat itu.

Kejadian itu sudah berlalu dua puluh tahun lamanya. Sudah enam bulan ini aku tak bertemu dengannya, hanya bercakap ringan melalui pesan singkat. Sibuk mengotak-atik mesin jawabnya setiap ku ajak dia datang ke sekolah untuk memberi motivasi pada adik-adik kelasnya.

Sepeda motor tua yang ku kendarai ini sudah sangat usang. Sesekali usil menggangu perjalananku menuju sekolah karena mogoknya. Diki sering menyarankan agar aku mengganti motor baru di sela-sela bincang kami di kantin sekolah dahulu. Kini, di perjalananku mengurus berkas ujian nasional di provinsi, motor ini kembali berulah.

Ku ingat ada sebuah bengkel yang sangat ku kenal tak jauh dari sana. Ku dorong sepeda motorku di bawah matahari yang semakin terik. Berselang tiga ratus meter, bengkel itu pun tampak.

“Hei Diki!” teriakku. Ya, itu Diki, Diki yang ku kenal dua puluh tahun silam. Diki yang di hari pertamanya membuat geger sekolah. Dan juga Diki yang membuat sekolah kami bangga melalui prestasinya.

Baju putih berlogo partai politik yang tengah dikenakannya sudah hitam. Kotor karena setiap hari bermain dengan perkakas montir. Sudah lama Diki bekerja di bengkel peninggalan pamannya ini. Setamat dari sekolah pascasarjana, dengan segudang prestasinya, dengan berbagai inovasinya di dunia otomotif, Diki pada akhirnya menjadi montor di bengkel kecil ini.

“O Pak Hasan, apa kabar?” Dia menghampiriku. Enggan bersalaman denganku karena tangannya yang kotor, hanya senyuman yang ia suguhkan. Tapi rasa rinduku tidak bisa menahanku untuk memeluknya.

“Apa kabar kau Diki? Bagaimana bengkelmu?” tanyaku melepas rindu.

“Ah, ya seperti ini lah Pak, seperti biasa. Namanya juga hidup, kadang sepi kadang ramai,” jawabnya sambil memamerkan senyumnya yang khas.

Aih, sungguh malang nasibmu Diki. Kenapa kau malah lahir terlalu cepat, bukannya baru-baru ini. Zaman itu dukungan pemerintah untuk inovasi-inovasi anak muda bualan belaka. Besok memenuhi surat kabar, janji-janji mereka. Lalu seminggu kemudian hanya lupa jawaban mereka.

Aih, tapi begitulah takdir. Tak dipungkiri, Dia selalu tahu yang terbaik.

Seseorang mencoba meminta perhatian kami berdua. Seorang laki-laki berpakaian rapi lengkap dengan jas dan dasi yang menggantung di lehernya mendekat.

“Pak Diki, bagaimana keputusan Bapak? Perusahaan multi nasional itu terus cerewet bertanya mengenai izin bapak agar mereka dapat memanfaatkan penemuan bapak untuk pengembangan teknologi mereka,” tanya Rio, asisten pribadi Diki.

Aih, sungguh malang nasibmu Diki. Kenapa kau malah lahir terlalu cepat, bukannya baru ini. Jika kau lahir di zaman ini sat semua karya anak bangsa dihargai, lebih dihargai dari tambang perak di Sumatera sana, tidak hanya 27 hak paten yang kau punya, tidak hanya gelar ilmuan muda inovatif yang kau sandang, sebuah laboratorium pribadi untuk penelitian-penelitianmu mungkin bukan hal yang mustahil. Diberi begitu saja oleh pemerintah.

Aih, sungguh malang nasibmu Diki. Andai kau terlahir di zaman ini.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar