Mungkin sekitar satu bulan lalu saya mengenal mereka, atau mungkin lebih, tepatnya mendekati penghujung bulan Januari. Layaknya Laskar Pelangi dalam novel yang digubah oleh Andrea Hirata, pemuda kelahiran Belitung, pulau yang dulunya merupakan bagian dari Provinsi Sumatera Selatan, saya juga dipertemukan dengan (seharusnya) sebelas orang anak yang mencoba mengenyam pendidikan "tidak biasa" bagi orang kebanyakan. Bedanya, saya berperan bukan sebagai Ikal sang tokoh utama, atau Mahar dengan segala hobi mistisnya, apalagi Lintang, anak yang SD pun tak tamat namun di serial berikutnya (Baca: Mimipi-mimpi Lintang Maryamah Karpov) diceritakan bahwa sanggup membuat sebuah kapal dengan perhitungan matematis yang rinci, mengalahkan kapal para bajak laut di selat melayu. Sepertinya, Allah memberikan saya penokohan sebagai Bu Muslimah, guru SD Muhammadiyah tempat Ikal dan teman-teman bersekolah, dengan ujung alur yang saya tentu belum tahu.
Pertemuan saya dengan mereka diawali dari ajakan salah seorang dosen, namanya Pak Arfan. Takdir yang kadang berjalan bak bayangan yang mempertemukan dua kejadian yang terkesan kebetulan, begitulah beliau, namanya yang seolah kebetulan hampir sama dengan nama kepala sekolah SD Muhammadiyah dalam novel Laskar Pelangi, Pak Harfan. Layaknya Pak Harfan, beliau juga bisa dibilang memiliki peran sebagai "kepala sekolah" SMP Terbuka tempat kesebelas adik-adik yang ingin saya ceritakan ini bersekolah di rumah beliau. Ya, mungkin sudah tahu perihal sekolah terbuka bukan? Sekolah terbuka merupakan bentuk sistem pendidikan informal yang biasanya diselaraskan melalui ujian paket.
Ajakan dari beliau agar saya ikut berkecimpung "belajar" bersama adik-adik di sekolah terbuka sudah ada sejak sekitar 1,5 tahun lalu, waktu itu adalah tahun kedua saya kuliah. Namun karena berbagai kegiatan intra kampus dan sebagainya, hal itu belum menjadi fokus saya yang kini sekali-kali justru menjadi sedikit penyesalan, "kenapa saya tidak memulainya sejak dulu?". Baru di awal tahun ini, karena hanya mengurus tugas akhir dan beberapa kegiatan ekstra kampus, ajakan itu kembali datang dan saya menerimanya.
Kontradiksi dengan yang dialami Ikal di hari pertamanya sekolah, hanya kekurangan satu orang siswa saja hingga Harun datang melengkapi, saya justru hanya berhadapan dengan satu orang murid saja, namanya Tarisa atau saya lebih sering memanggilnya Ica. Sedikit canggung, mengajar satu kelas yang rasanya seperti mengajar privat, saya hanya mencoba mencairkan suasana dengan pengenalan biasa. Tak langsung mengajar, yang kami lakukan "hanya" menggambar dan mengarang berkedok belajar Bahasa Indonesia.
Hari selanjutnya saya tidak bisa datang selama lebih kurang dua minggu lebih karena ke luar kota, hingga pertengahan Februari saya kembali. Alhamdulillah pertemuan kedua ini ada sedikit kemajuan, "nambah" satu. Namun tidak ada Tarisa. Saya bertemu dengan 2 siswa yang baru ku kenal, Tia dan Amel. Hari-hari berikutnya saya mengusahakan untuk terus datang setiap hari, dan kian hari jumlah murid yang datang kian bertambah, hingga saya dapat berkenalan dengan Wawan, Tomi, Hendri (yang sebenarnya berada di jenjang SMA Terbuka), Sera, Saidah dan Riski alias Kiki. Dua siswa yang belum saya temui hingga saat ini adalah Pandu (yang tengah diberi ujian berupa sakit oleh Allah hingga tidak bisa sekolah dalam waktu lama, semoga Allah segera memberikannya kesembuhan) dan Doni yang dari keterangan kerabatnya saat kami berkunjung ke rumahnya, ia berhenti untuk sekolah.
"Setiap anak unik dengan kecerdasannya masing-masing". Mungkin kalimat ini benar-benar saya pelajari dari kesebelasan adik-adik ini. Wawan yang tahu rahasia dibalik beberapa trik sulap hanya dengan beberapa kali memperhatikan, Tomi yang paling malas menulis tapi dapat berhitung cepat layaknya Ikal, Tia yang jago dalam berpuisi dan menulis cerita pendek, Ica yang hobinya menggambar dan membuat naskah cerita, Saidah yang berlakon menjadi murid pendiam namun tipe yang mudah paham dengan apa yang diajarkan, serta Henri, Amel dan Sera yang masih menjadi misteri. Terkadang menyenangkan melihat mereka sudah mengetahui apa hal yang mereka sukai, apa yang membuat mereka tersenyum saat melakukannya, namun di sisi lain itu terkadang membuat saya kewalahan selaku kakak mentor mereka, setiap mengajar harus memikirkan cara belajar yang beragam sesuai dengan tipe kepribadian mereka masing-masing.
Ya kembali lagi soal Laskar Pelangi, perjalanan pendidikan adik-adik yang cukup untuk membuat satu tim sepak bola ini tidaklah mudah. Satu di antaranya akhirnya keluar beberapa hari yang lalu, Saidah. Saya berencana kembali mengunjungi rumahnya (hal yang rasanya sudah menjadi rutinitas, datang ke rumah mereka tuk mengajak agar mau datang ke sekolah), menanyakan apa hal yang membuatnya berhenti, namun belum kesampaian karena kondisi fisik yang memaksa tuk beristirahat. Tantangan baru muncul memacu adrenalin, berpacu menerka-nerka lalu mengarang solusi dari data-data yang tentu bukan fakta karena saya tidak tahu alasan sesungguhnya Saidah berhenti.
Ini baru masalah pertama, masalah yang datang lebih cepat dari pada saat Lintang memutuskan untuk berhenti bersekolah juga. Mungkin bakal ada masalah lainnya ke depan. Apakah mereka bisa lulus minimal mendapat ijazah SMP walau ijazah paket B? Atau satu per satu akan kandas?
Entahlah.
Tapi bukankah hidup menjadi menarik karena hidup itu penuh misteri dan mimpi menjadi kebanggaan saat kita sanggup memperjuangkan sesuatu yang tidak pasti?
Setidaknya perjalanan mereka masih panjang, masih 2,5 tahun lagi sebelum berniat untuk menyerah. Yang perlu saya lakukan hanyalah terus berusaha, bermain bersama mereka dan saling berjalan beriringan untuk menggapai mimpi-mimpi mereka yang terdengar sederhana.
Alhamdulillah saya tidak bergerak sendiri, ada tiga orang sahabat lainnya yang turut membantu. Ke depannya, mungkin saya akan sering bercerita tentang mereka, bercerita soal watak masing-masing mereka, atau mungkin sesekali perihal mimpi-mimpi mereka ke depannya, atau mungkin menulis novel inspiratif seperti Laskar Pelangi. Eit, tapi mereka bukan Laskar Pelangi, mereka punya cerita yang lebih unik, dan yang saya yakini cerita mereka lebih seru.
Mereka lebih spesial dari sekedar pemimpi, karena mereka bukan Laskar Pelangi, mereka adalah pejuang mimpi. Mereka bukan Laskar Pelangi karena mereka memiliki cerita mereka sendiri. Mereka adalah anak-anak yang orang lain tidak perlu tahu kisah sedih mereka, cukup lihat perjuangan mereka saja, mereka adalah anak-anak yang datang belajar bukan karena takut dicatat absen bila tidak hadir, tapi mereka yang bersekolah karena kemauan pribadi. Karena mereka adalah................, hmm entahlah saya belum menemukan nama untuk julukan mereka.
Bogor, 11 Maret 2018
0 komentar