Pertanyaan Bertuah

By Muhammad Abdi Ridha - Oktober 02, 2018

Agam, 10 tahun lalu
Matahari tampak membakar terik. Satu dua awan putih terlihat menggantung namun tak satupun yang berani melintas menutupi walau sejenak, sekedar membuat rindang jalanan. Bermula dari sepuluh menit yang lalu, Ante (sebutan orang minang untuk Tante) memberhentikan angkot berwarna kuning yang ia, aku dan Ibu tumpangi setelah perjalanan selama lima belas menit dari Pasa Bawah Bukittinggi, melewati perbatasan Bukittinggi-Agam, lurus terus ke arah Koto Baru. Perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki melewati jalan gang yang lumayan luas untuk dilewati tiga buah mobil sedan kecil bersamaan.

Perjalanan ini begitu melelahkan, bukan karena kaki kecilku yang ringkih tuk berjalan lama namun lebih karena pikiranku yang terlalu lelah. Ketidaktahuanku sampai kapan aku harus berjalan karena Ante tidak memberitahu, ditambah sejak beberapa hari lalu hatiku sudah dongkol menolak ikut dalam perjalanan ini membuat semangatku seperti menguap bersama bulir-bulir keringat. Ucapan yang terlontar dari mulutku terbatas pada “Apa masih jauh?”, “Apa kita sudah sampai” atau pertanyaan-pertanyaan serupa yang bernada jenuh. Ante sesekali menanggapi pertanyaanku dengan jawaban ringkas “Sebentar lagi” sembari terus bercerita banyak hal dengan Ibu.

Sekitar tiga bulan ke depan aku bukan lagi siswa sekolah dasar. Tinggal menghitung hari untuk pertama kalinya kami siswa sekolah dasar tidak lagi mengikuti Ebtanas sebagai syarat kelulusan, digantikan dengan Ujian Nasional. Beberapa kecemasan guru mulai muncul, apakah kami para siswa sanggup lolos dari sistem penilaiain kelulusan yang baru ini. Lembar jawaban yang kotor atau terlipat, pilihan ganda yang dihitamkan melebihi garis batas hingga sistem penilaian yang menggunakan komputer dapat menjadi penyebab siswa tidak lulus walau prestasi akademiknya selama di sekolah ada di urutan peringkat satu sampai lima. Tak ayal, kecemasan ini terkadang berbuah kenekatan para murid untuk berbuat curang, seperti membeli kunci jawaban, menggunakan alat komunikasi saat ujian atau bekerja sama dengan pengawas ujian.

Berbeda dengan teman-temanku yang fokus ke persoalan Ujian Nasional mereka, aku justru lebih dicemaskan dengan kemungkinan-kemungkinan kemana aku akan melanjutkan sekolah menengahku. Mulanya aku hanya ingin melanjutkan sekolah di SMP Negeri yang berjarak setengah kilometer dari rumah. Namun wacara baru muncul beberapa bulan lalu, Ayah menyarankanku untuk lanjut ke pesantren, bukan ke sekolah umum seperti kebanyakan teman-teman.

Kalian tahu, paradigma pesantren bagi sebagian orang tidak selalu baik. Terlebih adanya kebiasan sebagian masyarakat yang menjadikan pesantren sebagai tempat pelarian anak-anak mereka yang susah diatur. Alhasil, pesantren lebih mirip sekolahnya para siswa-siswa yang dicap nakal ketimbang sekolah pendidik para kader ulama masa depan. Dan hal yang paling menakutkan bagiku kala itu adalah aku yang baru berumur 10 tahun harus minggat dari rumah.

“Nanti sebelum lulus kamu coba keliling dulu, lihat-lihat beberapa pesantren, mana tau ada yang cocok,” saran Ayahku beberapa waktu lalu.

“Iyo Yah.” Aku kecil hanya menurut, walau tidak ingin tapi tidak berani membantah.

Selama ini aku tidak berani membantah perkataan Ayah walau itu berupa saran. Sejujurnya, aku adalah salah satu dari ribuan anak yang melihat “seram” ayahnya sendiri. Pendidikan yang Ayah ajarkan kepada anak-anaknya terbilang keras, sesuai dengan tempramen Ayah yang tidak suka bertele-tele. Jangan pernah kalian bayangkan Ayah akan duduk manis bersamaku selepas ia pulang kerja, membantuku mengerjakan pekerjaan rumah. Atau jangan dibayangkan juga Ayah akan selalu membelaku setiap aku berkelahi dengan teman-teman di sekolah. Ayah mendidik kami untuk belajar mandiri, mencari tahu dahulu hingga sampai batas kemampuan baru boleh bertanya. Ayah akan berang jika kami menanyakan materi yang jelas-jelas ada di buku teks pelajaran namun justru bertanya padanya, mencap kami sebagai anak yang sibuk menengadahkan tangan meminta bantuan tanpa terlebih dahulu berusaha. Ayah mengajarkan kami, khususnya aku sebagai anak pertama, untuk jangan terlalu sibuk mencari pembela namun jadilah pembela bagi saudara-saudara yang lain.

Pernah suatu kali aku sedang usil menjaili adikku sedang ayah dan ibu masih khusyu shalat berjamaah. Aku menjahilinya sampai membuatnya menangis. Derap langkah kaki yang terdengar berat tiba-tiba melesat ke arahku dan tanpa ku sadari Ayah sudah ada di hadapanku. Tangisan adikku memaksanya membatalkan shalatnya. Tanpa aba-aba yang menyuruhku siap seperti guru pencak silat yang mengintruksikan kepada murid-muridnya, tangan Ayah sudah mendarat keras di bokongku. Kini keadaan berbalik, adikku berhasil memberikan serangan balasan melalui tangan Ayah. Sekarang aku yang menangis tersedu-sedu menahan tangis agar tidak basah mengenai baju.

Masih banyak kenangan-kenangan lain yang menggambarkan “petarungan?=ku dengan Ayah. Walau tak kuceritakan semuanya, mungkin beberapa akan kuceritakan di kemudian hari karena justru petarungan-petarungan itu mendidikku menjadi aku yang sekarang. Setakut apapun aku dengan Ayah waktu kecil dahulu, perlahan-lahan secara tidak sadar ajaran-ajaran yang ia berikan berubah menjadi watak dan kepribadianku.

Dan sekarang, disini lah aku ditemani Ibu dan Ante bersilaturrahmi ke beberapa pesantren di Sumatera Barat. Seingatku ini akan menjadi pesantren keempat yang akan kami kunjungi. Setiap selesai blusukan ke pesantren-pesantren, Ibu biasanya akan bertanya, “Apakah cocok dengan pesantren yang tadi?” Jawaban ku selalu sama, “Sepertinya belum cocok, mungkin harus lihat-lihat pesantren yang lain.”

Pesantren yang akan kami kunjungi ini adalah pesantren tempat Anteku dan dua orang adiknya sekolah dulu. Karena itulah, Ante yang tahu aku sedang mencari pesantren menyarankanku untuk melihat-lihat sekolah almamaternya dahulu, mana tau aku suka. Sesuai janjinya, Ante akan menemaniku ke pesantren sekaligus silaturrahmi ke guru-gurunya yang sudah lama tidak ia temui.

Matahari kian terik bagiku. Pemandangan kanan kiri jalan yang mulanya hijau, kebanyakan ditumbuhi selada, wortel, cabai dan padi, kini berubah menjadi barisan dinding tinggi dari seng yang berjajar lurus membetuk sebuah pagar.

“Masih jauah Nte?” aku bertanya lagi, tampaknya rasa jenuhku sudah memuncak. Kali ini, Ante justru tidak menjawab, hanya membalas dengan senyumannya.

Selepas deretan pagar seng sepanjang sekitar dua puluh sampai tiga puluh meter, Ante berbelok. Terdapat sebuah gerbang bercat putih. Aku dan Ibu mengikuti. Sebuah bangunan yang juga bercat putih tampak selepas kami memasuki gerbang tadi, satu bangunan di bagian depan dan satu lainnya di samping kiri dari arah kami masuk. Di salah satu dinding pada bangunan sebelah kiri terukir kaligrafi arab bertuliskan liyataqqahu fid diin, sedangkan di sebelah kanan hanya pondasi-pondasi bangunan yang belum rampung dibangun.

“Kita sudah sampai,” jawab Anteku akhirnya. Sepertinya inilah pesantren yang ingin Ante tunjukkan kepadaku. Ante terus berjalan mendekati bangunan yang ada di sebelah kiri dari arah kami datang, beramah-tamah dengan beberapa orang yang kalau ku tebak adalah guru-gurunya saat sekolah dahulu. Kemudian Ante memanggilku, menyuruhku mendekat.

“Iko Nyiak keponakan Saf yang nio masuak pesantren,” Ante memperkenalkanku dengan seorang yang kutaksir umurnya sudah tujuh puluh tahun. Badannya masih tegap berdiri. Walau mungkin karena faktor umur membuat tubuhnya sedikit kurus, namun senyumnya tetap sumringah menatapku.

“Ooo iko. Sia namo?” Kakek tua itu bertanya.

“Ahmad Ustadz,” jawabku.

“Namo panjangnyo apo?” beliau bertanya lagi.

“Ahmad Ridha ustadz.”

“Ooo.. Masuak dulu. Di dalam awak bacarito.” Kakek yang kupanggil ustadz barusan mengajakku masuk ke lobi penerimaan tamu. Lobi ini tidak terlalu besar dengan ukuran ruangan sekitar lima kali lima meter dengan sofa yang disusun seperti huruf u dan meja di tengahnya. Saat kami masuk sudah duduk pria lain yang umurnya lebih muda, ku taksir berumur lima puluhan, dengan ukuran badan yang besar dan tegap tanpa ada hiasan kumis dan jenggot di wajahnya.

“Safra yo?” Pria tersebut bertanya kepada ke Ante.

“Iyo Buya, masih ingek?” Tampak raut senang di wajah Ante saat ia menjawab sapaan pria tersebut, mungkin Ante bahagia karena ia masih diingat walau sudah lama tak bersua.

“Ingek lah.” Tiba-tiba mereka berdua tertawa. “Ado apo ko Nyiak?” Pria itu bertanya kepada kakek yang tadi bersamaku.

“Iko ha, keponakan Safra ingin lihat-lihat pesantren, katanya mau lanjut ke pesantren setamatan dari SD.”

“Ooo duduak, duduak.” Pria tersebut mempersilahkan kami duduk

Sebenarnya acara blusukan-ku ke pesantren-pesantren ini hanyalah formalitas saja karena aku tidak berani membantah Ayah secara langsung. Walau demikian, keinginan bulatku untuk tetap lanjut ke SMP negeri dekat rumah memaksaku mencari cara lain bagaimana aku tidak jadi bersekolah di pesantren. Butuh waktu merenung beberapa hari sampai ide ini terlintas. Aku akan mengikuti saran Ayah, melihat beberapa pesantren di Sumatera Barat. Hitung-hitung itu sebagai pelisirku di tengah liburan semester ganjil. Namun setelah pelisir ini aku akan beralasan bahwa sudah banyak pesantren yang kami kunjungi namun tidak ada satu pun yang menarik minatku. Harapannya, Ayah menyerah dan tidak mau lagi memaksaku untuk sekolah di tempat yang tidak disukai anaknya, salah satunya pesantren. Sebenarnya aku merasa sedikit berdosa dengan ide ini, akan banyak uang yang dihabiskan Ibu dan Ayah untuk membiayai perjalananku keliling Sumatera Barat yang ujung-ujungnya akan berakhir pada penolakan manisku. Tapi sungguh pesantren bukan hal yang kuinginkan.

Kakek yang dipanggil Inyiak oleh Ante dan pria besar itu lebih sering bercerita dengan Ante, mungkin melepas rindu antara guru dan murid yang telah lama tidak berjumpa. Sembari mendengarkan obrolan Inyiak, Buya dan Ante perhatianku disibukkan dengan melirih piala-piala yang berjejer dalam sebuah lemari. Satu dua tulisan yang terpahat di piala masih bisa ku baca, seperti juara baca buku bahasa arab, juara tahfizh atau kenang-kenangan kunjungan dari tamu yang berasal dari Malaysia.

“Jadi minat masuk pesantren?” Inyiak bertanya paduku dan aku hanya menjawab dengan senyum, tidak mengiyakan juga bukan menidakkan. “Tahu ndak, kalau dulu salah seorang ulama kenamaan Indonesia yang menyelesaikan tulisannya tentang tafsir Al-Qur’an selama di penjara sekolah disini?” Hmm.. benarkah? Beliau sekolah disini? “Atau tau wakil presiden Indonesia?”

“Bapak Jusuf Kala?”

“Bukan, wakil presiden Indonesia yang dulu. Beliau juga sekolah disini.” Benarkah? “Pesantren ini sudah berdiri sejak tahun 1910, didirikan oleh Inyiak Ibrahim. Soekarno pernah berkunjung kesini. Alumninya sudah dimana-mana. Ada yang jadi dosen, kuliah, bahwan banyak yang menuntut ilmu di Mesir.” Inyiak mencoba memperkenalkan pesantren ini. Beliau menyerahkan sebuah brosur berwarna hijau yang memberikan gambaran ringkas mengenai sejarah pesantren, kurikulum yang digunakan, para alumninya serta fasilitas dan tenaga kerja yang ada. Seperti yang Inyiak katakan tadi, sederat tokoh-tokoh terkenal memang tercatat sebagai alumni pesantren ini.

“Oy, nio kuliah di Mesir?” Saat sedang asik-asik membaca brosur, Inyiak bertanya lagi dengan nada bicaranya yang khas, menggelegar. Tidak ku sangka, pertanyaan sederhana ini malah mengubah semuanya.

*****

Selepas beramah tamah dengan pengurus pesantren, kami diberi kesempatan untuk melihat bagian-bagian lain dari pesantren, salah satunya asrama. Dipandu Bang Hamdi, salah seorang pembina asrama yang juga alumni pesantren ini kami diajak ke banguan satu lantai yang berada di bagian paling belakang. Gedung yang diperuntukkan sebagai asrama ini terdiri dari empat ruangan besar, tiga ruangan yang dapat menampung dua puluh orang siswa dan satu kamar yang dapat menampung hingga tiga puluh orang siswa. Dua ruangan dibangun di sisi kanan bangunan dan dua di sisi lainnya dengan koridor selebar dua setengah meter sebagai pemisah.

“Ini karena anak asrama sedang liburan, biasanya ada yang piket.” Bang Hamdi mencoba menjelaskan kenapa kondisi asrama sedemikian kotornya dengan sampah-sampah yang berserakan di lantai. Pesantren ini tidak memiliki petugas kebersihan, semuana dilakukan oleh santri dengan gotong royong.

Kami kemudian diajak untuk melihat bagian dalam kamar asrama. Setiap kamar memiliki satu kamar kecil lain di dalamnya, berukuran tiga kali tiga meter. Kamar kecil tersebut diperuntukkan untuk kakak kelas yang akan menjadi mursyid, istilah untuk kakak pembina yang bertanggung jawab di masing-masing kamar. Setiap kamar umumnya memiliki dua sampai tiga orang kakak mursyid.

Setelah meihat-lihat bagian asrama, kami diajak kembali oleh Inyiak untuk melihat-lihat bagian sekolah. Tak banyak yang bisa dilihat sebenarnya, hanya bangunan satu lantai dengan formasi bangunan menyerupai huruf L. Di sebelah tenggara terdapat satu bangunan yang dibangun terpisah. Kondisinya sudah sangat tua. Bangunan itu diperuntukkan untuk laboratorium bahasa.

“Gimana? Setelah ini kita mau ke pesantren mana lagi?” Ibu bertanya kepadaku selepas kami melakukan tour singkat tadi. Tidak banyak yang bisa dilihat dari pesantren ini. Pesantren ini masih dalam tahap pembangunan. Luasan wilayahnya juga tidak terlalu luas.

Namun sejak tadi aku merasa ada yang seperti mengganjal. Pertanyaan Inyiak selalu terngiang-ngiang. Mesir? Tiga pesantren sebelumnya yang kami kunjungi juga banyak alumninya yang melanjutkan studi ke negeri para Nabi. Tidak ada yang aneh dengan pertanyaan Inyiak. Walaupun memang baru Inyiak lah yang mengajakku secara langsung sedangkan pesantren-pesantren sebelumnya hanya bercerita mengenai alumninya, tanpa sekalipun bertanya tentang ketertarikanku untuk melanjutkan studi kesana.

Kucoba ingat kembali alasanku mengikuti tour ini, hanya sebagai pelarian agar Ayah tidak lagi memaksaku untuk masuk pesantren karena itu bukan keinginanku. Tekadku sudah bulat, selepas pulang dari perjalanan panjang ini aku akan beralasan di hadapan Ayah bahwa tidak ada satu pun pesantren yang menarik minatku. Cukup melanjutkan di sekolah menengah pertama yang tak jauh dari rumah adalah pilihan terbaik. Namun meski ku ingat-ingat kembali niat ini, pertanyaan Inyiak seperti magnet yang menyegel, menarikku dengan energi yang tak ku tahu dari mana asalnya. Hingga sepuluh tahun mendatang, masih tidak kupercayai bagaimana aku menghentikan blusukan yang masih setengah perjalanan dari yang kami rencanakan.

“Bu, sepertinya kita tidak perlu melihat pesantren yang lain. Ahmad minat sekolah di pesantren tadi.”

Ibu melihatku sedikit terkejut dan lebih terkejut diriku sendiri yang tak percaya dengan apa yang kukatakan barusan. Ahmad? Kau yakin?

Hari itu, melalui perantara Inyiak Allah menunjukkan kepadaku bagaimana kuasanya Ia dalam membolak-balikkan hati manusia.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar