Prolog

By Muhammad Abdi Ridha - September 17, 2018

Malam ini bulan tak berpendar merah, bercahaya pun ia enggan. Itu yang kulihat dari lantai dua balkon asrama. Mungkin dingin malam membuatnya memilih untuk berselimut di balik kabut pekat malam, menyisakan satu bintang terang di sebelah barat. Atau mungkin sebenarnya ia dengan agresif bangga menampakkan diri, hanya saja tak terlihat dari posisiku berdiri, tertutup di balik bangunan tinggi yang menjulang rapat.

Sudah empat tahun lamanya hidupku berganti yang dulunya tenang dalam suasana pedesaan yang asri, kini berjuang di antara ribuan manusia yang mencoba memperbaiki nasib di salah satu kota besar di negeri ini. Entah sudah berapa lamanya kaki ini melangkah menyusun potongan demi potongan mimpi, menyusuri cerita demi cerita, sedih dan bahagia. Beberapa perjalanan kulalui sesuai dengan ekspektasi, namun tak sedikit yang seperti sengaja menuntunku ke cerita yang berbeda dari yang kurencanakan, dengan beberapa kejutan di dalamnya.

Hidupku berisikan rentetan perjalanan-perjalanan dalam artian sesungguhnya, perjalanan yang membuatku semakin jauh dari kampung halaman. Aku lahir di Bukittinggi, lalu dibesarkan di Kerinci hingga kelas enam sekolah dasar. Takdir kemudian menghempaskanku jauh ke kota yang berbeda, Kab. Agam, untuk melanjutkan pendidikan berasrama selama enam tahun lamanya. Kini, takdir kembali menyeretku untuk hidup di dunia yang sedikit berbeda, lebih sering bercengkrama di atas riak-riak tipis genangan aspal basah kota hujan, Bogor. Pemandangan macet jalanan, bising klakson kendaraan dan udara yang pengap karena polusi adalah pemandangan yang tak kutemui selama hidup di Agam dan Kerinci. Setelah ini, entah kemana lagi Sang Pencipta akan membawaku tuk melihat sisi lain dari dunia. Mungkin tetap di pulau Jawa, kembali ke Sumatera atau bahkan bukan mustahil menerbangkanku di negeri antah-berantah di belahan benua sana.

Malam ini pikiranku kembali ke masa sepuluh tahun silam, ketika perantauan pertamaku bermula bukan dari keinginanku sendiri. Waktu kecil tak pernah terbesit dalam hatiku untuk merantau walau kata merantau sudah mendarah daging bagi orang Minangkabau, terkhusus pada anak laki-lakinya. Masa kecilku hanya sebatas rumah Amak di ujung komplek rumah, sekolah yang bisa dicapai dengan jalan kaki, rumah Pak Dang yang ada di gang sebelah, atau paling jauh sungai belakang rumah Angah di Balai Selasa. Keinginanku setamat dari sekolah dasar hanya ingin melanjutkan pendidikan di salah satu sekolah menengah pertama yang tak jauh dari rumah. Alasannya sederhana, supaya bisa satu sekolah lagi dengan teman-teman satu sekolah dasar dahulu. Adalah Ayah yang menjadi alasanku untuk hengkang selama enam tahun lamanya untuk sekolah di pesantren. Walau ia tak pernah memaksa, hanya menyodorkanku beberapa pilihan, namun aku yang kala itu masih kecil ciut untuk menolak tawarannya. Entah kenapa, justru saat ini aku bersyukur dengan apa yang Ayah lakukan untukku. Langkah pertama perantauanku membawaku dapat melihat masjid-masjid indah di Pulau Lombok yang kebanyakan di cat merah, hijau atau emas, menyusuri kebun-kebun sawit di perbatasan Indonesia-Malaysia di Borneo Utara, melihat biru perairan tenang Pulau Seribu, jalan-jalan di sepanjang Jalan Malioboro Yogyakarta yang ikonik dan keliling Surabaya dalam satu hari dari Monkasel hingga Universitas Airlangga bermodalkan uang tiga puluh ribuan. Semuanya dimulai dari perantauanku sepuluh tahun silam.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar