Surat Cinta Murid Untuk Gurunya

By Muhammad Abdi Ridha - April 13, 2019

Menjadi guru bukan perkara susah atau mudah. Mengajar adalah sebuah ibadah. Sudah tentu, bila ada kesulitan Allah akan mempermudah. Kuncinya, siapkan diri, lakukan dengan tulus dan hadapi segala konsekuensinya dengan tabah.

Apa hal berharga yang harus dimiliki oleh setiap guru? Sabar, ikhlas dan ketulusan.
Sedang yang tidak boleh? Angkara murka pada kenakalan para murid yang pada hakikatnya mereka sedang belajar menyusun masa depan.


Kamis, 11 April 2019

Seperti biasa, setiap Kamis saya sempatkan untuk meluangkan waktu sejenak tuk mengajar atau sekadar memantau kegiatan belajar di posko belajar sekolah terbuka Gunung Leutik. Hari itu, pukul 08.30 WIB sudah ada Wawan yang menunggu.

“Saya datang jam tujuh tadi Kak,” celotehnya. Alhamdulillah, sudah beberapa pekan ini Wawan tidak masuk sekolah dan kali ini ia datang paling pertama.

Beberapa saat menunggu, satu per satu murid berdatangan, mulai dari Tarisa, Amel, Tomi lalu Uke, Dwi dan Sera. Hingga pukul sembilan lewat, kegiatan belajar mengajar (KBM) dimulai.

Menghafal Al Quran menjadi aktivitas wajib sebelum dimulainya pelajaran, sebuah aktivitas yang beberapa pertemuan terakhir dilalaikan dengan berbagai alasan. Belum lama, Uke, Dwi dan Sera nyeletuk meminta pulang.

“Kak izin ya.” Baru juga datang kenapa minta pulang.

“Ada kampanye kak.” Memang benar, saat itu sedang berlangsung kampanye salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden di lapangan Ciampea, tidak jauh dari sekolah induk posko belajar Gunung Leutik.

Aku menjawab tidak. Ikut kampanye? Untuk apa? Toh, mereka belum cukup umur untuk memilih. Terlebih, beberapa di antara mereka sudah lama tidak masuk sekolah.

“Kan biasanya boleh Kak,” mereka mulai memelas. Aku bersikukuh menjawab tidak.

Tiga bocah cilik ini mencoba kabur diam-diam lewat pintu belakang.

“Amel, kasih tahu ke mereka, siapa yang berani pulang jangan balik lagi ke sekolah,” ancamku. Tampaknya mereka mulai ragu-ragu.hanya berdiri mematung di halaman belakang.

Pagi itu kegiatan menghafal Al Quran kami lakukan di rumah Pak Arfan, belum di bangunan sekolah yang biasanya digunakan dahulu untuk kegiatan belajar mengajar siswa-siswi PAUD hingga pukul sembilan atau sepuluh.

Sekitas pukul sepuluh kami bertolak ke bangunan sekolah. Tomi yang tadi saya pinta untuk mengecek keadaan di sekolah terlebih dahulu, serta Dwi, Sera dan Uke yang mengikuti iringan kami di belakang, justru tidak terlihat batang hidungnya walau sudah sepuluh menit lamanya kegiatan belajar mengajar dimulai.

Kabur.

Marah, kesal. Mungkin karena belum sarapan, rasa kecewa sulit ku kontrol. Tapi ya bayangkan saja, bagaimana posisi kita sebagai guru, itupun hanya sebatas relawan, mengorbankan banyak hal mulai dari waktu, tenaga dan kesempatan untuk berkarir sedang mereka para siswa dengan seenaknya sendiri memutuskan, “Hari ini malas sekolah ah”, “Hari ini sekolah yuk”, “Libur aja ya kak”.

Menenangkan diri, berwudhu dan shalat dua rakaat adalah pilihan terbaik. Sedang siswa-siswa yang tersisa kutinggalkan bersama Fawwaz, salah seorang tim Pendidk Nusa yang beberapa saat lalu datang menyusul.

Selepas shalat, saya jadi teringat dengan salah satu curhatan Pak Arfan.

“Setiap pengajian shubuh, sembilan puluh persennya saya bicara sendiri. Kadang ada satu, itupun terkantuk-kantuk,” curhat beliau belum lama ini. Setiap setelah shalat shubuh, Pak Arfan rutin walau barang beberapa menit mengisi ceramah singkat di mushala dekat rumah. Walau suaranya terdengar keras memalui cerobong toa mushala, sebuah informasi bahwa Pak Arfan selama ini kebanyakan berbicara sendiri. Padahal kalau mendengar suaranya yang terlontar dari toa mushala selama ini, ia begitu berapi-api dalam berceramah, seolah banyak pasang mata memperhatikannya antusias, terutama kaum ibu-ibu

Entah apa maksud dari ingatan barusan yang tiba-tiba datang. Ku coba cermati kembali.

Keikhlasan. Ya, bukankah kita sebagai manusia hanya diperintahkan untuk menyampaikan, sedangkan perkara datang atau tidaknya suatu petunjuk itu urusan Tuhan. Kita hanya diperintahkan untuk ikhlas. Karena sejatinya, saat kita berbuat baik, tahu atau tidaknya orang lain, dihargai atau tidaknya orang lain, Allah pasti tahu dan Allah pasti membalas.

Hatiku mulai tenang walau di beberapa bagian masih ada noda kesal yang berwarna kusam. Kuputuskan kembali ke sekolah.

“Kak, saya punya puisi buat kakak,” celetuk Tarisa tiba-tiba di sela-sela pelajaran.

“Puisi apa? Coba bacain,” pintaku. Puisi itu juga ia tawarkan pada Fawwaz. Kemudian, ia coba bacakan pusi itu untuk kami.

Guruku

Kuucapkan terima kasih
Pada guruku yang selalu tulus
Dan selalu sabar mengajar

Ilmu yang kau berikan
Sangat melimpah
Ilmu untukku, ilmu untuk masa depanku

Setiap hari dan setiap waktu
Dibimbingnya aku
Karena bimbingannya

Tumbuh bakatku
Tumbuh cerdasku
Tumbuh pengetahuanku

Tak kan ku lupa
Jasa dan nasihatmu
Terima kasih guruku


Ciptaan : Tarisa Puspitasari. 09 April 2019

Ya Allah, walau dengan kalimatnya yang sederhana tanpa majas dan diksi kata yang lugas, mungkin ini cara Allah mengirimkanku sebuah telaga ketenangan.

“Kamu itu tidak tahu siapa yang sukses di antara mereka nantinya. Kamu juga tidak pernah tahu dari siswa mana Allah menjadikan itu sebab kamu masuk surga dan berpahala. Jadi, jangan pernah mengelu. Ikhlas, lakukankan dengan tulus.” Mungkin itu pesan yang ingin Allah sampaikan padaku.

Memang murid-murid kami berasal dari berbagai latar belakang watak dan perangai. Namun tugas seorang guru bukan sebatas menjadikan mereka yang baik menjadi lebih baik, juga bukan sekadar menjadikan yang pintar menjadi lebih pintar. Guru juga mereka yang harus membimbing anak-anak yang selama ini dicap nakal untuk merubah diri, menuntun mereka ke jalan yang lebih baik. Guru jugalah yang memiliki peranan membangkitkan kepercayaan diri siswa yang selama ini dicap bodoh, membantu menemukan bakat mereka hingga mereka dapat menjadi bintang sesuai bidang yang ditakdirkan bersama mereka.

Aku ingat salah satu pesan bibiku yang juga guru sekolah menengah pertama.

“Yang sulit dari menjadi guru itu adalah bagaimana menghilangkan rasa kesal atau murka. Kalau perasaan itu ada, nasib tidak baik yang akan menimpa sang murid.”

Pagi ini, aku kembali menyempatkan waktu untuk “mampir”. Selasa, Sabtu dan Kamis adalah jadwal rutin mereka. Kalian tahu, tidak ada satupun dari mereka yang datang.



Ditulis pada hari Sebtu, 13 April 2019 dari waktu dhuha sampai waktu ashar, dari rumah Pak Arfan sampai asrama

  • Share:

You Might Also Like

2 komentar