Bolos Kuliah Untuk Mereka. Para Cahaya yang Ingin Belajar

By Muhammad Abdi Ridha - April 08, 2019


Sabtu 6 April 2019, bersama tim Manajemen Pendidik Nusa kami berinisiatif mengunjungi TKBM Cahaya Dhuafa, salah satu yayasan sosial yang juga terjun dalam pengelolaan posko belajar SMP Terbuka di daerah Bubulak. Bedanya, Cahaya Dhuafa sudah memiliki gedung sekolah sendiri walau sebagian masih dalam tahap pembangunan.

Sedikit terlambat dari jadwal yang direncanakan, kami tiba ketika matahari mulai terik. Kulirik jam digital di telepon genggam, pukul 10:14 WIB. Beberapa siswa tampak berkeliaran. Seorang ibu-ibu yang kutaksir adalah penjaga kantin duduk dengan beberapa siswa di sekelilingnya. Namun tidak terlihat satupun guru yang menyambut kedatangan kami.

Setelah memarkirkan motor di salah satu pojok lapangan basket yang mana itu satu-satunya lapangan luas yang ada disana, kucoba bertanya pada ibu-ibu yang kutaksir seorang penjaga kantin tadi.

"Buk maaf, Buk Yaninya ada?" Ibu itu kemudian berteriak bertanya pada murid-murid di sekitarnya. Jawabannya, sedang tidak ada. "Kalau Buk Ulfa ada Buk?" Kuingat tadi pagi Bu Yani, salah satu pengurus TKBM Cahaya Dhuafa, mengirimkan sebuah kontak padaku untuk dihubungi. Bu Yani sudah memberi kabar bahwa hari ini tidak datang ke sekolah. Ada  Bu Guru Ulfa yang bertugas mengajar.

"Ada, itu di dalam," jawab sang Ibuk sambil menunjuk salah satu ruang kelas.

"Sedang mengajar ya Buk?"

"Iya." Karena tidak ingin menganggu, kami putuskan untuk menunggu.

TKBM ini memiliki dua buah gedung yang dipisahkan oleh satu lapangan basket di tengahnya. Bangunan di sebelah selatan sudah berdiri sempurna dan dicat, terdiri dari satu ruangan besar yang dibagi dua menjadi dua ruang kelas. Sedangkan bangunan di sebelah utara masih dalam tahap pembangunan dengan dinding batako tanpa plester semen, pintu dan jendela. .

Tak lama seorang perempuan dengan baju ungu dan kerudung hitam datang menghampiri. Ku taksir umurnya satu sampai tiga tahun di atasku. Karena alasan itulah kami memanggilnya dengan panggilan kakak.

"Panggil nama saja," protesnya saat kami memanggilnya dengan panggilan Kak Ulfa. Ia menjelaskan bahwa saat ini ia masih mahasiswa semester enam.

Setelah pengenalan singkat, ya singkat saja karena saat itu masih dalam jam pelajaran, kami diajak bergabung menjadi guru dadakan. Hari itu, hanya Kak Ulfa yang hadir dan harus mengayomi tiga tingkatan kelas dengan total murid sekitar enam puluhan. Pengalaman yang menarik. Tawaran itu kami terima.

Aku, Kak Frida dan Kak Vrita mendapat bagian mengajar di kelas sembilan di bangunan sebelah utara, sedangkan Suci dan Fawwaz akan mengayomi siswa-siwa dari kelas tujuh di bangunan selatan. Hingga pukul setengah dua belas, kegiatan belajar mengajar diisi dengan berbagai materi. Terkadang sharing, ice breaking atau cerdas cermat.

"Assalamualaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh." Kompak para siswa menutup pelajaran. Kulirik di kantin, ditemani Kak Ulfa, sudah ada Suci dan Fawwaz yang kegiatan mengajarnya sudah selesai beberapa menit yang lalu.

"Sebenarnya bisa lulus di periode pertama ini, tapi ada mata kuliah yang belum selesai, mata kuliah semester satu," Kak Ulfa mencoba mengenalkan dirinya lebih jauh.

"Sering bolos kuliah ya Kak?" Celetukku.

"Iya," jawabnya sedikit tertawa. Menjadi guru pamong di posko belajar sekolah terbuka bukan perkara mudah. Mulai dari beban tenaga, waktu bahwan materi. Beban kerja kita hampir sama dengan guru-guru di sekolah formal, namun guru pamong biasanya hanya digaji sekitar seratus lima puluh ribu rupiah per bulannya. Itu pun dibayarkan per tiga bulan. Begitu yang dijelaskan oleh Pak Arfan, dosenku sekaligus pendiri Komunitas Pendidik Nusa. Terlebih, siswa yang masuk ke sekolah terbuka memiliki tantangan sendiri. Guru tidak hanya memikirkan bagaimana prestasi akademik siswa, namun juga bagaimana kondisi sosial dan keluarganya bahkan keuangan. Tak sedikit siswa-siswa yang masuk ke sekolah terbuka karena latar belakang geografis dan ekonomi yang kurang mendukung.

"Akhirnya lulus tahun depan." Itu salah satu kalimat yang kudengar walau pelan bagaimana Kak Ulfa harus mengorbankan kuliah diplomanya.

TKBM Cahaya Dhuafa memiliki belasan relawan. Namun kebanyakan sudah berkeluarga dan punya tanggung jawab ekonomi. Karena itu, pasti membutuhkan sumber penghasilan tambahan. Alhasil, Kak Ulfa yang kala itu adalah relawan guru termuda harus menutupi bila ada relawan guru lainnya yang tiba-tiba tidak bisa mengajar. Bahkan pernah kala itu Kak Ulfa memiliki jadwal kuliah di pagi hari, sekitar pukul sepuluh bertolak ke sekolah untuk mengajar karena dihubungi tidak ada guru yang bisa mengajar, dan siangnya kembali lagi ke kampus untuk jam kuliah kedua. Sekali-kali ia sampai mengorbankan kuliah, mendapatkan nilai nol hanya karena tidak ingin anak-anak yang sudah inisiatif datang malah pulang dengan tangan kosong karena mendapati kondisi sekolah tidak ada satu orang gurupun.

Salah satu cerita menarik lainnya adalah bagaimana Kak Ulfa menjalankan program wirausaha untuk para siswa yang punya masalah ekonomi. Menurutnya, memberi uang pada siswa bukan solusi, justru menanamkan pradigma pada mereka untuk menjadi orang peminta-minta. ia kumpulkan beberapa siswa yang menurutnya punya masalah ekonomi, yang sebagian untuk ongkos pulang pergi sekolah saja tidak cukup, lalu menawarkan apakah mau jualan. Kak Ulfa teringat saat Pak Arfan pernah mengajam di TKBM Cahaya Dhuafa, beliau pernah mengajarkan cara membuat sari buah dan alat-alatnya masih tersimpan dalam kondisi baik di gudang sekolah. Akhirnya, setelah jam pelajaran sekolah selesai para siswa yang telah dipilih diajak membuat sari buah hingga sore, lantas menjajakannya di salah satu komplek perumahan yang tidak jauh dari sekolah. Satu kemasan sari buah dihargai enam sampai tujuh ribu dan siswa bisa menjualnya sepuluh ribu rupiah (bahkan ada yang membeli dengan harga lima belas ribu). Hasil penjualan yang didapat oleh siswa modalnya dikembalikan kepada Kak Ulfa sedangkan sisanya dapat mereka tabung untuk uang jajan.

"Satu minggu itu bisa lima ratus ribu dari jualan sari buah doang," Kak Ulfa menjelaskan antusias. Di kesempatan lain, keripik singkong juga menjadi alternatif siswa dalam berjualan. Keripik singkong ini diberi bumbu pedas. Menurut para siswa semakin pedas semakin mantap. Satu bungkusnya dihargai seribu rupiah.

Kak Ulfa menjadi salah satu contoh bukti bahwa kita masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama di bidang pendidikan. Pendidikan tidak hanya soal bagaimana satu ditambah satu sama dengan dua, tumbuhan ada yang dikotil dan ada yang monopoli atau sebatas pengetahupenIndonesia terletak di beberapa derajat lintang utara dan beberapa derajat lintang selatan. Tidak. Pendidikan sejatinya kita dihadapi pada berbagbe masalah kehidupan dalam cakupan yang sangat luas. Siswa yang jarang datang ke sekolah bisa jadi karena rumahnya yang jauh dari segala bentuk akses transportasi. Siswa yang selama ini dicap nakal bisa jadi karena latar belakang keluarga yang kurang dalam mendidik. Atau siswa yang selama ini suka meminta-minta jajanan teman-temannya bisa jadi punya masalah di ekonomi. Akhirnya, seorang guru bukan hanya sebatas guru matematika, biologi atau sejarah. Guru adalah cahaya, yang harus menuntun mereka-mereka yang juga akan menjadi cahaya baru di masa depan, senantiasa memberikan mereka nasihat dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Aku jadi ingat salah satu nasihat dari istri Pak Jamil Azzaini. "Mendidik itu hadiahnya surga. Sudah pasti nggak gampang. Kalau gampang hadiahnya kipas angin."

Teman-teman yang merasa tertantang untuk menjadi relawan guru di TKBM Cahaya Dhuafa, dapat menghubungi saya melalui WA di nomor 081279792900.

Bogor, 8 April 2019
Waktu dhuha

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar