Sesungguhnya Allah pada prasangka hamba-Nya. (Hadits)
Malam ini, setelah menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit sembari hujan deras di beberapa lokasi, rantai sepeda motor yang copot di perjalanan, kacamata yang patah karena helm yang terlalu sempit (sepertinya), apa yang saya ragukan beberapa hari ini akhirnya menemukan titik terang. Seperti biasa, dalam periode waktu tertentu bersama rekan-rekan yang tergabung dalam program Mentoring Leadership Himpunan Alumni Institut Pertanian Bogor, kami bersilaturrahmi ke rumah Pak Jamil Azzaini, mentor kami dalam program mentoring ini. Tema pertemuan kali ini adalah neuroleadership.Konsep neuroleadership sudah lama diajarkan dalam agama, baik secara implisit maupun eksplisit. Konsep ini menekankan bahwa apa yang terjadi di kehidupan nyata, baik atau buruknya sebuah kejadian, sejahtera atau sengsaranya nasib kita, merupakan buah pikiran kita sendiri yang menstimulus kerja neuron-neoron yang ada pada otak. Neuron ini kemujian memproyeksikan imajinasi berupa realita. Konsep dasarnya saya belum terlalu paham. Intinya, orang yang memiliki paradigma mustahil naik haji dengan penghasilan pas-pasan tidak akan pernah naik haji. Sebaliknya, seorang pemulung (bukan merendahkan profesi sebagai pemulung karena di setiap pekerjaan ada kebaikannya masing-masing) yang selalu memiliki harapan untuk ke tanah suci, walau hanya melalui angan-angan yang ia ujar pada setiap doa-doanya, suatu saat, cepat atau lembat, ia akan mendapatkan apa yang ia impikan dari jalan yang tidak disangka-sangka. Pak Jamil sempat memberikan beberapa contoh pengalaman, baik yang ia alamai sendiri atau orang di sekitarnya mengenai konsep ini.
Seketika saya teringat dengan kejadian lima tahun silam, tepatnya masa-masa akhir pendaftaran SNMPTN. Kala itu, keras kepala saya menolak mentah-mentah tawaran untuk mendaftarkan diri di SNMPTN. Bukan pesimis, tapi karena saya tahu sebagai calon lulusan pesantren yang tidak banyak memiliki rekam jejak prestasi di dunia akademik umum, sedikit sulit untuk masuk ke perguruan tinggi favorit. Kala itu tekad saya sudah bulat untuk melanjutkan bangku pendidikan ke Institut Pertanian Bogor, walau tidak pernah terlintas bagaimana rupa kampus yang akan saya tuju. Itu pun saya baru tahu ada perguruan tinggi pertanian yang masuk lima besar kampus terbaik di Indonesia di minggu-minggu awal semester genap kelas tiga aliyah.
Tahu bahwa saya tidak mendaftarkan diri di SNMPTN dan memilih berjuang di SBMPTN, saya dipanggil oleh kepala sekolah. Berbicara empat mata, saya disarankan untuk tetap mengisi formulis SNMPTN, misalkan dengan mengambil pilihan perguruan tinggi lokal. Hitung-hitung, saya masih punya peluang untuk melanjutkan studi walau di daerah. Sebenarnya ada alasan lain dibalik keras kepalanya saya kala itu, namun hal ini mungkin akan saya jelaskan di lain kesempatan. Tetap menolak dan keras kepala, ibu saya dihubungi pihak sekolah. Untunglah ibu mendukung jalan apa yang saya pilih. Pada akhirnya, sebagai alternatif melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, saya hanya mendaftarkan diri melalui jalur SBMPTN, itupun hanya memilih dua kampus pilihan tanpa pilihan kampus lokas, dua pilihan untuk IPB dan dan satu untuk UGM, dua kampus terbaik se-Indonesia kala itu. Kalau tidak lulus? Masa bodoh, ulang lagi tahun depan, yang penting saya tidak mau yang lain, harus antara dua kampus ini.
Kini, Alhamdulillah setelah berkutat empat tahun lamanya dengan aktivitas perkuliahan di Institut Pertanian Bogor dengan program studi Manajemen, bulan Januari lalu saya diwisuda. Keinginan untuk melanjutkan studi masih ada, besar malah. Hingga pada penghujung bulan Februari, saya putuskan mendaftar di lima perguruan tinggi di Turki melalui jalur beasiswa pemerintahkan Turki yang dikenal dengan beasiswa YTB.
Menunggu hasil pengumuman tahap pertama yang hingga hari ini belum kelihatan juga batang hidungnya, saya mulai pesimis. Apakah lamaran saya ditolak? Bukankah banyak pendaftar lainnya yang lebih kompeten dan memiliki rekam jejak yang bagus baik di bidang akademik maupun organisasi dan prestasi? Lalu mau kemana saya setelah ini jika apa yang saya impi-impikan beberapa bulan terakhir ini justru berakhir dengan hasil yang sulit saya terima? Hari demi hari, rasa pesimis itu semakin sering nongol bahkan di satu waktu perasaan pesimistis ini saya curahkan pada ibu lewat suara di telepon genggam.
“Sesungguhnya Allah pada prasangka hambanya”.
Hadits ini terus terngiang-ngiang selama Pak Jamil menerangkan konsep neuroleadership, bagaimana kita mengubah paradigma negatif menjadi positif, bagaiamana kisah-kisah kolega dan rekan Pak Jamil yang menerapkan konsep ini. Semua hal ini membuat saya mawas diri, benarkah sikap saya beberapa minggu terakhir ini?Buruk atau tidaknya prasangka saya tentang apa yang akan terjadi di masa yang akan datang tidak akan merubah ketidaktahuan saya atas ketidakpastian takdir. Rasa pesimistis, takut, gelisah tidak akan mengubah kualitas lamaran beasiswa yang telah saya ajukan, justru akan menjadi beban pikiran bagi saya pribagi. Dari pada sibuk memikirkan hal yang tidak pasti, bukankah lebih baik kita memantapkan hati dan memasrahkan diri. Toh saya tidak bisa berbuat apa-apa saat ini dan saya telah berusaha. Kini hanya bisa menunggu hasil pengumuman. Setidaknya, dengan ber-husnu zhan, saya bisa fokus mengerjakan kegiatan lain yang bermanfaat di masa penantian ini. Apalagi berdasarkan hadits nabi tadi, bisa jadi prasangka baik saya terhadap takdir, akan menjadi sebab secara tidak langsung Allah kabulkan impian saya untuk menimba ilmu di negeri yang menjadikan bunga tulip sebagai lambang ikonik negaranya.
“Masa lalu adalah pembeljaran diri dan masa depan adalah tidak pasti, sedang hidup adalah hari ini.”
Kalau tidak lulus juga walaupun sudah ber-husnu zhan bagaimana? Tidak ada kata kalau. Saat ini, yang harus saya lakukan hanya berprasangka baik. Tidak ada kata kalau ini atau kalau itu.Bukankah banyak orang yang sudah berprasangka baik pada takdir, tapi kenyataan berkata lain? Nah, dalam hal ini, berdasarkan nasihat yang saya dapatkan dari Pak Jamil Azzaini, kita perlu mawas diri. Apakah ada orang terdekat kita yang kita sakiti, atau orang yang kita sayangi yang kita buat kecewa dan sedih, atau bisa jadi orang di sekitar kita yang kita acuh tak acuh dan memilih tidak peduli. Bisa jadi, tidak dikabulkan atau tidak diproyeksikannya angan-angan pada sistem otak dalam bentuk realita karena ada dosa yang secara tidak sadar kita perbuat. Bisa jadi ketidak ridhaan orang tua atas kenakalan kita di masa lalu, menjadi penghambat kita meraih masa depan yang sudah kita rancang sedari lama. Pak Jamil memberikan contoh kongkrit yang ia alami selama ini, yang berimbas pada jatuh bangunnya ia dalam membangun bisnis.
Masih ada beberapa hari sebelum tenggat waktu pengumuman kelulusan tahap satu capon penerima beasiswa YTB. Ternyata, masih banyak utang yang belum saya lunasi, masih banyak khilaf yang enggan bagi saya untuk meminta maaf. InsyaAllah, dalam beberapa hari ke depan, saya bertekad menuntaskan hal ini. Karena itu, jika ada yang membaca tulisan ini dari rekan-rekan yang mengenal saya, yang mana di masa lalu saya telah melakukan perbuatan khilaf yang justru menyakiti dan belum dimaafkan hingga saat ini, saya mohon dibukakan pintu maafnya dan diridhakan perjuangan saya untuk melanjutkan pendidikan ke tempat yang saya impikan.
Bogor, 15 Aprill 2019
Dari tengah malam sampai waktu dhuha di Asrama Rumah Tahfizh Al-Fathon


