*Tulisan ini tulisan yang saya tulis tahun lalu, mungkin tidak ada salahnya saya merepost nya kembali*
Selasa, 26 September 2017
"Life cannot be without food, when we destroy the land that give food, we destroy the food that give life."
Ernest Agyemang Yeboah
Ini adalah hari kedua perjalananku bersama rekan-rekan ENJ Kaltara. Ditutup dengan bersilaturrahmi dengan salah satu warga Desa Berjoko, salah satu desa di Pulau Sebatik, Pak Ahmad namanya. Bersama dengan Bang Mario Oktafianus Unarajan, rekan ENJ ku yang berasal dari Tarakan, sore ini kami mengunjungi rumah beliau. Apa yang terpikirkan saat kalian tidak sengaja bertemu dengan sebuah keluarga kecil dengan anak perempuan yang masih berusia 3 tahun, dengan rumah panggung kayu, pakaian layaknya orang kampung pada umumnya, di pinggir jalan yang jauh dari pusat kecamatan? "Ohh itu warga biasa, layaknya tetangga kiri kanannya". Hmm benarkah? Pak Ahmad adalah seorang magister manajemen dengan gelar sarjana bidang ekonomi. Memiliki pengalaman kerja puluhan tahun di asuransi syariah. Sekitar tahun 2001 atau 2002 Pak Ahmad pindah ke Pulau Sebatik yang sebelumnya tinggal di Sulawesi. Seorang magister pindah ke daerah tapal batas, ingin apa? Kalian tahu, Pak Ahmad justru jadi pekerja (kalau tidak ingin disebut buruh) kebun buah naga ditambah sebagai imam shalat sebuah masjid kecil di dekat rumahnya.
"Lulusan magister bukan berarti menjadi halangan kita untuk kerja bertani," kira-kira begitulah penjelasannya memulai cerita. Mungkin tidak ada salahnya jadi tani, tapi kalau pekerja tani? "Saya ingin ambil ilmunya dari Pak Haji (panggilan untuk pemilik kebun buah naga tempak Pak Ahmad bekerja," jelasnya. Pak Ahmad berprinsip, sesuatu perlu ilmunya. Bukankah dalam agama juga disebutkan, orang berilmu lebih tinggi derajatnya.
Saat ini Pak Ahmad membantu mengelola sekitar 2000 batang buah naga milik Pak Haji. Dengan lebih dari 5000 batang yang dimiliki oleh Pak Haji, Pak Haji berhasil meraup omset tiap bulannya lebih dari 40 juta rupiah. Berguru dengan sang empu yang sebelumnya pernah belajar cara bercocok tanam buah naga di negeri cina, Pak Ahmad kini sudah memahami ilmu bercocok tanam buah naga dan mulai mengelola kebuh buah naganya sendiri.
Cerita yang ingin ku bagikan kali ini sebenarnya tentang bagaimana hidup bertani tidak hanya soal kebutuhan, tapi harga diri. Dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi kita diajarkan kalau Indonesia negara agraris dan maritim. Tapi sudah pernah kah kita baca tingkat produksi pertanian kita setiap tahunnya? Di surat kabar atau televisi? Berapa kebutuhan komoditas pertanian kita? Cukup kah? Atau malah kita impor sana impor sini?
"Pembangunan yang dilakukan pemerintah seharusnya berfokus pada bagaimana kita menjadi negara agraris, bukan industri". Hmm oke saya setuju dengan ini. Tapi coba kita balik pertanyaannya, "Siapkah kita menjadi petani saat pemerintah dengan semangat empat lima menggalakkan pembangunan pertanian?".
Jadi pentingkah menjadi petani? Atau sebuah keharusan? Petani yang ku maksut tidak hanya berkotor ria dengan tanah sawah, kawan. Pertanian yang ku maksut dalam artian luas, mulai dari hulu sampai hilir, mulai dari pra tanam sampai penjualan dan distribusi hingga bisa dinikmati khalayak banyak, mulai dari soal pertanian itu sendiri, peternakan, perikanan, kehutanan, ekonomi pertanian, sains iptek pertanian, ekologi, bisnis pertanian, dll. Menjadi petani juga bisa jadi petani berdasi kawan.
Coba bayangkan, dalam 10 tahun mendatang, di buku pelajaran IPS SD adik kita diajarkan kalau kita negara agraris. Sesampai di rumah ia bertanya, "Kak sawah itu seperti apa?". Tidak malukah kita?
Memang tidak semua kita harus jadi petani, Indonesia tetap membutuhkan pemuda-pemuda di bidang lainnya. Tapi setidaknya setiap diri kita memiliki semangat seorang petani, tidak menakut-nakuti saat ada sanak-saudara yang ingin menjadi petani.
"Jadi petani hidupnya miskin". Hmm berarti kita belum memahami hakikat bertani. Bertani mengajarkan kita untuk mencintai proses. Mengaharapkan "buah" hasil membutuhkan "bibit" usaha. Usaha saja tidak cukup, butuh sabar dan keuletan. Bertani juga bisa kaya, Pak Haji salah satu contohnya. Pertanyaannnya, siapkah kita untuk bersabar dan mencintai prosesnya.
Menutup ceritaku kali ini, ingatkah kita kalau hari ini adalah Hari Tani Nasional. Karena itu, mari bersama-sama bahu membahu memberikan andil dan kontribusi nyata untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara agraris yang tidak hanya sebagai omongan formal di bangku sekolah.
Yuk Jadi Petani
Catatan : Judul tulisan ini terinspirasi dan dikutip dari salah satu judul artikel di Kompasiana.com
Salam dari Tapal Batas Utara Nusantara
#MenjadiLentera