Pemuda itu masih bergeming dalam lamunannya. Menatap jalanan kota yang kian padat dengan siluet lampu merah kuning kendaraan yang berjajar. Hari iti langit malam tampak cerah dengan rembulan. Tak seperti hari sebelumnya yang gerimis, ia putuskan untuk tinggal lebih lama.
Seperti dugaannya, lelaki tua itu kembali datang. Suara langkah kakinya yang khas, berat menghentak dengan jeda langkah yang pelan. Seperti pertemuan mereka sebelumnya, lelaki tua itu datang sembari membawa dua cangkir kopi hangat di atas tatakan dan sepiring pisang goreng. Begitu menggiurkan menemani udara yang kian dingin mendekati tengah malam.
“Ah, sepertinya punggungku ini sudah semakin tua,” ujar lelaki tua itu basa-basi, berpose keletihan setelah manaiki undukan tangga, mendekat kemudian duduk di samping pemuda yang mengenakan hodie parasut berwarna hijau itu. Sedang pemuda tersebut acuh tak peduli. Hening beberapa saat. “Pemandangan dari sini selalu menjadi favoritku saat bekerja,” ujar Pak Tua itu lagi.
Dari lantai lima bangunan gedung yang setengah jadi itu, kita bisa melihat pemandangan indah hampir seluruh panorama kota. Terlebih saat pertengahan bulan hijriyyah, rembulan tampak utuh menyapa.
Suasana kembali hening, hanya diisi irama tegukan kopi yang diseruput sedikit demi sedikit ditambah bunyi krezzz gigitan pisang goreng yang digoreng kering. Hingga lelaki tua itu kembali bertanya, entah kali ke berapa. “Sampai kapan Anda mau seperti ini?”
Pak Tua ini tidak bosan apa? Rutuknya dalam hati. Putusannya berganti, lebih baik pulang dan bergemul di balik selimut yang hangat. Lelaki itu pergi tanpa mengeluarkan sepatah katapun, sembari menampilkan wajah tak suka karena kesendiriannya diganggu.
“Ho ho, sepertinya Anda merasa terganggu. Namun sekesal apapun, soal perut Anda selalu jujur,” canda lelaki tua itu terakhir kali sambil melirik lelaki muda itu pergi dengan membawa satu gelas kopi di tangan kiri dan dua buah pisang goreng di tangan kanannya. Tak luput lelaki tua itu melirik sebuah undangan yang tersalip di saku celananya.