Sudah satu bulan lebih kukembali tinggal di asrama ini, asrama yang kutinggalkan di awal tahun lalu dengan dalih mencari kebebasan dari segala hariannya yang "menyibukkan". Rumah Tahfidz Al Fathon sudah menjadi tempat tinggalku sejak semester 5 kuliah hingga satu tahun pasca wisudaku Januari 2019 silam.
Niat awalnya karena ingin menenangkan diri. Tampaknya kubutuh keramaian sebagai pengalihan dari hal yang tengah kudahapi. Ada kerinduan hingga membawaku kembali kesini. Awalnya hanya “menumpang” menginap satu malam, satu malam menginap di tempat berbeda, malam berikutnya kembali lagi ke asrama ini, dan seterusnya. Ya, dalam dua bulan terakhir, terhitung hanya 2 - 3 hari saja aku tidur di asrama mahasiswa daerah dimana aku tinggal satu tahun terakhir. Selebihnya? Nomaden.
Sebenarnya Ustadz tidak tahu aku yang hampir tak pernah pulang ke asrama mahasiswa daerah, hanya berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah laiinya berbekal kenalan. Ustadz hanya tahu, asrama mahasiswa daerahku sepi penghuni dan karena itu aku sering menginap disini.
Setelah beberapa kali kesempatan melihatku yang berperilaku layaknya gelandangan, Ustadz Wahid, guru sekaligus pembina Rumah Tahfidz basa-basi mewarkan. “(Terus menginap) disini aja!” Aku senang, seperti kembali diterima. Aku juga tidak ingin over thinking. Mungkin Ustadz hanya tak ingin aku kesepian sendiri di asrama tempatku tinggal. Terlebih, kondisi Rumah Tahfidz juga tak seramai sebelumnya karena pandemi. Beberapa tempat tidur menganggur, menunggu untuk diisi.
Mungkin teman-teman seperjuangan Rumah Tahfidzku dulu ada yang tertawa tak percaya Ustadz kembali menerimaku lapang dada, walau sementara. Tinggal di rumah tahfizh tidak menjadikanku masuk dalam golongan mereka yang “good looking”, seperti sahabat-sahabatku yang kuat memegang azzam di jalan dakwah. Lebih sering lari dari rutinitas harian, mencuri waktu untuk tidur atau kabur. Kadang hal ini tak kulakukan sendiri. Salah satunya bersama Lintang yang 10 hari kedepan akan menyempurnakan separuh agamanya bersama seorang muslimah yang ia kenal di kepanitiaan kampus.
Merasa tahu diri, kusempatkan membantu beberapa kegiatan di Rumah Tahfidz, mengajar santri-santri setingkat SD misalnya. Pada akhirnya Ustadz memintaku untuk mengisi kultum untuk para santri muqim setingkat SD dan SMP selepas shubuh setiap hari, kecuali hari Rabu dan Ahad. Rabu dikususkan untuk pengajian para santri mahasiswa dan SMA sedangkan Ahad memang jadwal libur mingguan. Ada sekitar sepuluh orang santri, tidak termasuk satu orang santri yang merupakan anak Ustadz sendiri.
Setelah sekian lamanya, ku dihapatkan kembali pada kehidupan anak-anak. Beberapa di antara mereka, walau masih kelas empat atau lima SD, sudah hafal juz 30 dan beberapa surat di juz 29. Masalahnya, karena memang masanya anak-anak suka bermain, sedikit sulit mengondisikan mereka di saat kultum. Apalagi upaya membangunkan mereka 20 menit sebelum shubuh untuk shalat tahajjud juga tidak kalah menantang.
Pernah terbesit untuk mendidik dengan cara “adil”, marah saat mereka tidak mendengarkan dan menghormati mereka saat mereka berperilaku seharusnya. Namun, opsi “marah” bukan pilihan menarik yang ingin kupilih. Mungkin aku tipe orang yang suka memaklumi dan menjadikan marah bukan solusi. Sudah umum anak seumuran mereka lebih sering bermain.
Berbekal ilmu hitam (karena ditulis menggunakan tinta hitam) tulisan-tulisan para pengajar muda Indonesia Mengajar selama mengajar di pelosok-pelosok Indonesia, kumenerapkan sistem reward (punishment belum kuterapkan). Sederhana, bagi mereka yang bangun paling awal (3 - 5 orang pertama) sebelum shubuh untuk shalat tahajjud, bagi mereka yang mengikuti kultum shubuh tanpa tertidur, bagi mereka yang menjalankan shalat dhuha dimanapun itu, bagi mereka yang menyelesaikan tugas-tugas hafalan yang kuberikan setiap minggunya (hafalan rukum iman, rukum islam, nama malaikat beserta tugasnya dan sebagainya yang ternyata mereka belum hafal), kuberikan satu bintang penghargaan untuk masing-masing aktivitas yang berhasil mereka jalankan. Setelah dua minggu, bintang-bintang tersebut diakumulasikan dan dipilihlah tiga orang dengan jumlah bintang terbanyak. Masing-masing mereka akan mendapat hadiah dariku. Bukan barang mewah, hanya sebungkus wafer merek Tango seharga Rp 6.500,-.
Awalnya aku merasa tidak nyaman karena memotivasi mereka beribadah untuk mendapatkan penghargaan manusia. Semoga Allah meridhai ini dan memaafkanku jika ini sebuah praktik pendidikan yang salah. Tapi satu hari setelah aturan main ini kami sepakati, satu per satu dari mereka “berubah”. Masing-masing dari mereka berlomba-lomba mendapatkan bintang demi bintang perhargaan dan menjadi pemenang.
“Kak, aku tambahin bintangnya satu ya,” sahut mereka setelah menyelesaikan salah satu tugas dariku. Alhamdulillah, aku tak perlu menasihati mereka untuk diam saat kultum, mengingatkan mereka agar jangan lupa shalat dhuha. Bahkan tadi pagi, sekitar pukul empat kurang sepuluh menit, aku membangunkan mereka untuk tahajjud. Tak disangka, saat dengan nada sedang teriakanku membangunkan mereka, sebagian dari mereka langsung berdiri, mengambil pakaian untuk shalat dan buru-buru keluar kamar sambil memperhatikan temannya, takut ada yang lebih dulu bangun dari dirinya. Biasaa harus dibangunkan beberapa kali dulu.
Hatiku tersenyum senang.
Sore ini, di sela-sela obrolan ringan dengan Ustadz, salah satu dari mereka, Ridho menghampiriku. “Kak besok tahajjud bangunin ya.” MasyaAllah. Metode ini baru kupraktekan sekitar dua minggu (khusus poin tahajjud baru dimulai kemarin). Namun Allah membukakan jalan agar mereka semakin semangat menjadi para pejuang dan penjaga agama-Nya. Semoga Allah selalu melindungi mereka dan melapangkan hati-hati mungil mereka.
Dari seorang kakak yang justru belajar banyak hal dari kalian.
“Kak, aku tambahin bintangnya satu ya,” sahut mereka setelah menyelesaikan salah satu tugas dariku. Alhamdulillah, aku tak perlu menasihati mereka untuk diam saat kultum, mengingatkan mereka agar jangan lupa shalat dhuha. Bahkan tadi pagi, sekitar pukul empat kurang sepuluh menit, aku membangunkan mereka untuk tahajjud. Tak disangka, saat dengan nada sedang teriakanku membangunkan mereka, sebagian dari mereka langsung berdiri, mengambil pakaian untuk shalat dan buru-buru keluar kamar sambil memperhatikan temannya, takut ada yang lebih dulu bangun dari dirinya. Biasaa harus dibangunkan beberapa kali dulu.
Hatiku tersenyum senang.
Sore ini, di sela-sela obrolan ringan dengan Ustadz, salah satu dari mereka, Ridho menghampiriku. “Kak besok tahajjud bangunin ya.” MasyaAllah. Metode ini baru kupraktekan sekitar dua minggu (khusus poin tahajjud baru dimulai kemarin). Namun Allah membukakan jalan agar mereka semakin semangat menjadi para pejuang dan penjaga agama-Nya. Semoga Allah selalu melindungi mereka dan melapangkan hati-hati mungil mereka.
Dari seorang kakak yang justru belajar banyak hal dari kalian.
