The Psychology of Money - Bedah Buku

By Muhammad Abdi Ridha - Januari 03, 2022


Morgan Housel adalah mantan kolumnis di The Wall Street Journal. Ia menyelesaikan program sarjana ekonominya di University of Southern California. The Psychology of Money adalah buku yang ia terbitkan pada tahun 2020 di tengah pandemi. Buku ini membahas sudut pandang seorang Morgan mengenai kekayaan, ketamakan dan kebahagian, tentu bila dikaitkan dengan uang.

Buku ini menarik untuk dibaca, dikemas dalam 20 bab yang bisa dibaca secara acak. Setelah membaca buku ini, saya menemukan 4 pelajaran penting bagaimana pengaruh uang terhadap kekayaan, ketamakan dan kebahagiaan.

Mengelola Keuangan adalah Soal Perilaku

Pada tahun 2014, orang-orang heboh dengan kematian Ronald Read yang meninggalkan harta warisan lebih dari 8 juta dolar. Pasalnya, ia hanyalah mantan petugas kebersihan, tidak ada catatan memenangkan lotre atau pun mendapatkan harta warisan dalam jumlah besar. Apa yang Ronald kerjakan? Ia hanya menabung dari waktu ke waktu seberapa pun nominalnya, kemudian menginvestasikannya. Ia mewariskan 2 juta dolar untuk anak-anaknya dan lebih dari 6 juta dolar didermakan untuk tujuan sosial.

Ronald bukanlah sosok dengan latar belakang pendidikan tinggi. Ia berasal dari keluarga petani miskin, bekerja hampir seperempat abad sebagai petugas mekanis pom pengisian gas yang dimilikinya dan kakaknya, serta bekerja paruh waktu di department store J.C. Panney selama 17 tahun sebelum pensiun.

Pada tahun yang sama, hanya berselang beberapa bulan sebelum meninggalnya Ronald Read, seorang bernama Richard Fursone masuk berita.

Ia adalah eksekutif Merril Lynch lulusan Harvard bergelar MBA, memiliki karir yang sukses di bidang keuangan dan pernah masuk dalam jajaran pebisnis sukses berusia di bawah 40 tahun yang dipublikasikan majalah Crain’s. Tapi saat Ronald Read mewariskan hartanya untuk derma, Richard justru menghadapi kebangkrutan.

Pada pertengahan 2000an, untuk memperluas rumahnya di Greenwich dengan 11 kamar mandi, dua lift, dua kolam dan tujuh garasi, Richard meminjam banyak uang. Kemudian krisis keuangan melanda pada tahun 2008. Hal ini juga berdampak pada Richard dan ia pun bangkrut.

”Mengelola uang dengan baik tidak ada hubungannya dengan kecerdasan Anda dan lebih banyak berhubungan dengan perilaku Anda. Dan perilaku sukar diajarkan, bahkan kepada orang-orang yang sangat cerdas,” tulis Morgan pada bagian pembukaan bukunya.

Cerita Ronald dan Richard adalah dua sudut pandang kontradiktif. Banyak yang menilai mereka dengan latar belakang pendidikan yang baik punya kompetensi mampuni dalam pengelolaan dan perencanaan keuangan. Dan berlaku sebaliknya. Ini tidak sepenuhnya salah, tapi tidak berlaku universal. Bagi Morgan, manajemen keuangan adalah bentuk perilaku, kematangan emosi, bagaimana seseorang melawan sosok tak tampak yang disebut ego, yang tidak selalu dinilai dari latar belakang kecerdasan dan pendidikan seseorang.

Keputusan Rasional adalah Soal Perspektif

Manusia bukanlah mesin yang setiap kali mengambil keputusan selalu memilih solusi optimum. Manusia seringkali terdistraksi oleh emosi. Karena itulah pandangan setiap orang mengenai uang terbentuk dalam sudut pandang yang berbeda-beda.

Sebesar 40 persen orang Amerika tidak bisa menabung sebesar 400 dolar untuk dana darurat. Ironisnya, rumah tangga berpendapatan rendah di Amerika menghabiskan rata-rata 412 dolar per tahun untuk membeli lotre. Jumlah ini empat kali lebih besar dari jumlah pengeluaran yang dihabiskan oleh rumah tangga berpendapatan tertinggi untuk membeli lotre. Berapa peluang menangnya? Hanya satu berbanding jutaan.

Bagi kita penalaran mereka terdengar gila. Bagaimana mungkin seseorang mau bertaruh pada undian yang peluang menangnya sangat kecil hingga berani mengabaikan garis aman tabungan darurat. Tapi bayangkan bagaimana jika lotre bagi mereka bukan sekadar undian. Membeli lotre bagi mereka adalah seperti membeli harapan masa depan yang lebih baik. Mereka tidak bisa menempuh pendidikan tinggi, memiliki kendaraan, pelisir ke distinasi impian. Yang mereka bisa lakukan hanyalah membeli mimpi, sesutu yang kita sulit pahami karena tidak berada di kondisi yang sama dengan mereka.

Atau contoh lain, antara seorang wanita karir dan ibu rumah tangga. Kita setuju bahwa ibu memilliki peran besar dalam tumbuh kembang anak. Tapi bayangkan seorang wanita yang kita nilai tega meninggalkan anaknya tumbuh bersama pembantu demi mengejar karir ternyata seorang ibu singgle parent. Ia memilih menggantikan peran ayah bagi anaknya dan menitipkan peran ibu yang seharusnya ia emban pada sang pembantu.

Karena itu sulit menjelaskan bagaimana keputusan seseorang mengenai uang. Kita memandang objek yang sama namun masing-masing kita punya dunia yang berbeda. Karena itulah menurut Morgan tidak ada yang gila. Kita membuat keputusan berdasarkan pengalaman unik masing-masing yang tampak masuk akal bagi kita tapi tidak dengan orang lain.

Rasa Cukup

Umumnya, saat kita makan makanan seenak apa pun itu, ada masanya dimana kita merasa “itu cukup”. Jika diteruskan kita akan muntah. Logisnya, tentu tidak ada orang yang mau memaksanakan diri untuk terus makan hanya untuk memuntahkannya kembali. Justru kenikmatan makanan lebih kita rasakan saat kita mengonsumsinya dalam kadar cukup.

Anehnya, hal yang sama tidak kita lakukan bila berkaitan dengan uang. Saat berhadapan dengan uang, kita seolah berhadapan pada sesuatu yang tidak terbatas. Kita baru berhenti saat dipaksa berhenti. Ketidakmampuan kita mengentahu seberapa banyak uang yang perlu kita hasilkan akhirnya merepotkan kita.

Bodohnya lagi, ketamakan membuat kita kehilangan apa yang sudah miliki. Seperti analogi makanan tadi. Saya jadi ingat pesan Musa pada kaumnya, “Jika kamu bersyukur maka akan Allah tambahkan nikmat-Nya untukmu namun jika kamu kufur, ingatlah azab Allah sangat pedih.”

Ruang untuk Kegagalan

Para investor memahami, dari 100 investasi bisnis yang mereka lakukan, mereka mungkin sudah menyadari separuhnya berakhir pada kegagalan, 20 persen tumbuh cukup baik dan sekitar 1 hingga 2 persen saja yang bisa meledak menjadi pemimpin pasar. Namun bagian 1 persen inilah yang akan menjadi ekor yang dapat mendorong pertumbuhan bisnis mereka.

Cerita menarik dari perusahaan raksasa Amazon setelah peluncuran Fire Phone Amazon yang berakhir buntung. Jeff Bezos selaku CEO hanya berkomentar, “Anda pikir ini kegagalaan besar? Kami sedang menggarap kegagalan-kegagalan yang lebih besar sekarang.” Hingga setelah Amazon meluncurkan layanan Amazon Web Service, keberhasilan produk Amazon kali ini bisa menutupi kerugian ratusan produk gagal Amazon sebelumnya, bahkan pertumbuhan Amazon hampir disebabkan oleh layanan Amazon Web Servive di samping produk Prime mereka.

*****

Buku The Psychology of Money ini memberikan sudut pandang baru bagaimana seorang Morgan melihat uang sebagai sumber atau alat kekayaan, ketamakan dan kebahagiaan. James Clear, penulis dari Atomic Habit memberikan apresiasi, “The Psychology of Money penuh dengan ide-ide menarik dan kesimpulan praktis. Bacaan penting bagi siapa saja yang ingin mengelola uang dengan lebih baik.”

Buku ini menarik untuk dibaca. Sudut pandang Morgan mungkin terkesan konservatif dan kuno di dunia dimana ekonomi bergerak secara sekuler dan liberal. Namun ini dapat memberikan sudut pandang baru dari seorang praktisi keuangan barat. Mungkin ada beberapa bagian pada buku ini yang sulit dipahami, pengambilan studi kasusnya pun kebanyakan di Amerika, namun secara menyeluruh kita bisa memetik poin-poin penting agar tidak terjebak pada perangkap yang disebut ketamakan.

  • Share:

You Might Also Like

0 komentar