Sore kemarin, sembari menunggu balasan pesan singkat dari seorang teman yang janji untuk bertemu, saya memutuskan mampir di salah satu warung tidak jauh dari kampus. Mengganjal perut. Memesan satu piring nasi dengan lauk ikan asin, tahu bacem dan sayur sup. Sialnya, saya tidak sadar di dalam dompet hanya ada selembar uang dua ribu dan dua keping logam uang lima ratus. Memang ada dua lembar uang lima puluh ribu, namun milik para donatur untuk kegiatan qurban di asrama saat hari raya Idul Adha nanti. Hal ini baru saya sadari saat pesanan sudah dihidangkan di atas meja.
Tidak ingin malu karena tidak bisa membayar, saya coba mengirimkan pesan melalui Whatsapp, meminta izin meminjam uang donasi yang nanti akan saya ganti selepas menarik uang di ATM terdekat. Pesan saya diterima oleh beberapa orang, namun hanya sebatas dibaca tanpa balasan. Ya, tidak apalah dipakai dulu, insyaAllah akan langsung diganti. Kan cuma meminjam.
Saya teringat salah seorang teman yang tinggal di kos-kosan sebelah warung ini. Saya coba berkirim pesan, berharap bisa membantu. Seperti sebelumnya, tidak kunjung ada balasan. Hei, serius ingin pinjam uang dari dia? Dia kan cewek? Mau diletakkan dimana harga dirimu sebagai seorang laki-laki? Seharusnya laki-laki yang membantu perempuan. Aduh, benar juga. Egoku berontak. Untunglah baru ucapan salam yang kutuliskan dalam pesan singkat.
Suapan demi suapan justru terjadi perang batin. Ya tidak masalah sih uang ini saya pake dulu, nanti juga diganti. Dari pada memelas ke abang warungnya, meminta hutang, mampir ke ATM kemudian kembali lagi ke warung untuk membayar hutang. Itu memakan waktu. Namun seolah-olah punya dua kepribadian, sisi lain diri saya berkata lain.
Itu uang amanah, nggak bisa dipake semua kita. Ingat nabi gimana menjaga amanah, bahkan barang orang yang bukan muslim pun dijaganya sampai menjelang hijrah dan dikembalikan dalam kondisi sama bagusnya saat benda itu dititipkan.
Aih, ribet amat. Kan nilai uangnya nggak berkurang. Cuma meminjam. Kalau nilai uangnya berkurang baru salah. Sisi lain diri saya tidak mau kalah.
Mereka berdua sangat berisik, membuat saya lebih fokus pada masalah bagaimana cara membayar dibandingkan menikmati ikan asin balado yang nikmat. Coba kalau ditambah kerupuk.
Ya sudahlah, sebagai wasit saya putuskan sisi malaikat yang menang. Ini uang amanah, tidak etis rasanya dipergunakan untuk hal lain, walau sekedar meminjam. Lagi pula tidak ada salahnya meminta hutang, paling hanya perlu menahan malu. Bolak-balik warung-ATM juga tidak masalah, hanya berjarak sekitar satu kilometer. Namun agar tidak terlalu malu, sebuah ide terlintas.
Pertama, saya akan bertanya berapa yang harus saya bayarkan, mengeluarkan dompet. Disinilah kuncinya. Mulut dompet akan saya arahkan ke abang penjaga warung, agar dia bisa melihat ada dua lembar uang lima puluh ribu. Setelah pura-pura berusaha mencari uang di dompet, barulah saya meminta untuk hutang dan akan membayar segera setelah menarik uang tunai. Abang warung yang sudah melihat dua lembar uang lima puluh ribu pasti akan bertanya, bukannya tadi ada uang lima puluh ribu? Tinggal dijelaskan, uang tersebut bukan milik saya, tapi amanah para donatur. Saya yakin abangnya pasti mengerti.
Lumayan, biar dikira anak baik. Aduh, amanah sekali nih anak. Sisi jahat diri saya mencoba menggoda.
Yap, ini rencana yang bagus.
Selesai menghabiskan suapan terakhir, rencana dijalankan.
“Sama apa makannya?”
“Ikan asin, sayur sup sama tahu bacem.”
“Tujuh ribu.”
Saya lanjutkan sesuai rencana. Namun sebelum kalimat meminta hutang itu terlontar, tanganku seperti berinisiatif memeriksa seluruh kantong, mulai dari jaket hingga celana. Kemudian memeriksa celah-celah dompet kembali.
Hei, ini tidak sesuai rencana. Saya bahkan kaget dengan tindakan spontan tangan ini. Serius, sangat kaget. Barangkali biar lebih terlihat realistis.
Kalian tahu, saat itu saya ingin tertawa. Rencana Allah lebih baik dan bantuannya datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin keputusan saya untuk memenangkan sisi kanan membuat Allah menggerakkan tangan-tangan ini untuk mencari peruntungan yang tidak ada dalam rencana. Kalian tahu, setelah berusaha merogoh celah-celah saku celana, jaket dan dompet, saya berhasil mengumpulkan uang genap jumlahnya tujuh ribu rupiah. Iya, pas sekali. Padahal saya yakin hanya punya satu lembar uang dua ribu dan dua koin uang logam. Alhamdulillah, saya panjatkan rasa syukur.
Ya, mungkin Allah belum dan tidak akan pernah mengizinkan saya untuk menggunakan uang yang bukan hak milik. Mungkin Allah ingin mendidik saya jika suatu saat nanti menjadi orang besar, jangan sampai menyalahgunakan kewenangan walau itu masalah sepele seperti lupa membawa uang saat makan siang dan teniat “meminjam” uang negara supaya tidak malu. Semoga.
Terkadang memang benar, menjadi seorang koruptor itu dimulai dari mengambil hal-hal kecil yang dianggap sepele, tidak serta-merta langsung mengantongi dana haram ratusan juta.
Tidak ingin malu karena tidak bisa membayar, saya coba mengirimkan pesan melalui Whatsapp, meminta izin meminjam uang donasi yang nanti akan saya ganti selepas menarik uang di ATM terdekat. Pesan saya diterima oleh beberapa orang, namun hanya sebatas dibaca tanpa balasan. Ya, tidak apalah dipakai dulu, insyaAllah akan langsung diganti. Kan cuma meminjam.
Saya teringat salah seorang teman yang tinggal di kos-kosan sebelah warung ini. Saya coba berkirim pesan, berharap bisa membantu. Seperti sebelumnya, tidak kunjung ada balasan. Hei, serius ingin pinjam uang dari dia? Dia kan cewek? Mau diletakkan dimana harga dirimu sebagai seorang laki-laki? Seharusnya laki-laki yang membantu perempuan. Aduh, benar juga. Egoku berontak. Untunglah baru ucapan salam yang kutuliskan dalam pesan singkat.
Suapan demi suapan justru terjadi perang batin. Ya tidak masalah sih uang ini saya pake dulu, nanti juga diganti. Dari pada memelas ke abang warungnya, meminta hutang, mampir ke ATM kemudian kembali lagi ke warung untuk membayar hutang. Itu memakan waktu. Namun seolah-olah punya dua kepribadian, sisi lain diri saya berkata lain.
Itu uang amanah, nggak bisa dipake semua kita. Ingat nabi gimana menjaga amanah, bahkan barang orang yang bukan muslim pun dijaganya sampai menjelang hijrah dan dikembalikan dalam kondisi sama bagusnya saat benda itu dititipkan.
Aih, ribet amat. Kan nilai uangnya nggak berkurang. Cuma meminjam. Kalau nilai uangnya berkurang baru salah. Sisi lain diri saya tidak mau kalah.
Mereka berdua sangat berisik, membuat saya lebih fokus pada masalah bagaimana cara membayar dibandingkan menikmati ikan asin balado yang nikmat. Coba kalau ditambah kerupuk.
Ya sudahlah, sebagai wasit saya putuskan sisi malaikat yang menang. Ini uang amanah, tidak etis rasanya dipergunakan untuk hal lain, walau sekedar meminjam. Lagi pula tidak ada salahnya meminta hutang, paling hanya perlu menahan malu. Bolak-balik warung-ATM juga tidak masalah, hanya berjarak sekitar satu kilometer. Namun agar tidak terlalu malu, sebuah ide terlintas.
Pertama, saya akan bertanya berapa yang harus saya bayarkan, mengeluarkan dompet. Disinilah kuncinya. Mulut dompet akan saya arahkan ke abang penjaga warung, agar dia bisa melihat ada dua lembar uang lima puluh ribu. Setelah pura-pura berusaha mencari uang di dompet, barulah saya meminta untuk hutang dan akan membayar segera setelah menarik uang tunai. Abang warung yang sudah melihat dua lembar uang lima puluh ribu pasti akan bertanya, bukannya tadi ada uang lima puluh ribu? Tinggal dijelaskan, uang tersebut bukan milik saya, tapi amanah para donatur. Saya yakin abangnya pasti mengerti.
Lumayan, biar dikira anak baik. Aduh, amanah sekali nih anak. Sisi jahat diri saya mencoba menggoda.
Yap, ini rencana yang bagus.
Selesai menghabiskan suapan terakhir, rencana dijalankan.
“Sama apa makannya?”
“Ikan asin, sayur sup sama tahu bacem.”
“Tujuh ribu.”
Saya lanjutkan sesuai rencana. Namun sebelum kalimat meminta hutang itu terlontar, tanganku seperti berinisiatif memeriksa seluruh kantong, mulai dari jaket hingga celana. Kemudian memeriksa celah-celah dompet kembali.
Hei, ini tidak sesuai rencana. Saya bahkan kaget dengan tindakan spontan tangan ini. Serius, sangat kaget. Barangkali biar lebih terlihat realistis.
Kalian tahu, saat itu saya ingin tertawa. Rencana Allah lebih baik dan bantuannya datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Mungkin keputusan saya untuk memenangkan sisi kanan membuat Allah menggerakkan tangan-tangan ini untuk mencari peruntungan yang tidak ada dalam rencana. Kalian tahu, setelah berusaha merogoh celah-celah saku celana, jaket dan dompet, saya berhasil mengumpulkan uang genap jumlahnya tujuh ribu rupiah. Iya, pas sekali. Padahal saya yakin hanya punya satu lembar uang dua ribu dan dua koin uang logam. Alhamdulillah, saya panjatkan rasa syukur.
Ya, mungkin Allah belum dan tidak akan pernah mengizinkan saya untuk menggunakan uang yang bukan hak milik. Mungkin Allah ingin mendidik saya jika suatu saat nanti menjadi orang besar, jangan sampai menyalahgunakan kewenangan walau itu masalah sepele seperti lupa membawa uang saat makan siang dan teniat “meminjam” uang negara supaya tidak malu. Semoga.
Terkadang memang benar, menjadi seorang koruptor itu dimulai dari mengambil hal-hal kecil yang dianggap sepele, tidak serta-merta langsung mengantongi dana haram ratusan juta.