Lima Hari di Posko Bencana Banten (Bagian Satu : Hari Keberangkatan)
By Muhammad Abdi Ridha - Januari 14, 2019
Ini adalah pengalaman keduaku turun sebagai relawan kebencanaan. Sedang pengalaman pertama adalah saat bencana angin puting beliung melanda wilayah Bogor Selatan pada 6 Desember lalu, Pengalaman pertama ini hanya sebatas tahap assesment atau penilaian dan survei lapangan.
Persiapanku menuju ke lokasi bencana bisa dibilang mepet dan tanpa persiapan yang matang. Senin, 31 Desember 2018 sekitar pukul dua siang kuputuskan untuk berangkat hari itu juga (padahal rencananya baru berangkat esok hari). Melihat info di salah satu situs internet bahwa jaswal keberangkatan bus rute Bogor - Serang yangyterakhir adalah pukul tiga sore, pukul tiga lebih sedikit, secara mendadak aku pamit dengan Ustadz Wahid, pembina asrama, membawa kebutuhan logistik selama di lapangan ala kadarnya, kemudian bertolak ke jalan raya mencari angkutan umum menuju Terminal Baranagsiang, berharap semoga karena malam malam ini adalah malam tahun baru masih ada bis yang stay di terminal hingga aku tiba.
Baru sekitar pukul empat aku tiba di Terminal Barangsiang, seorang bapak-bapak memberitahukanku bahwa bus rute Bogor - Serang masih tersisa satu bus yang belum berangkat, dan itu jadwal pemberangkatan terakhir hari ini. Ia menunjuk salah satu pojok terminal yang berjarak sekitar seratus meter dari pintu utama terminal. Sesampainya di tempat yang ditunjuk Sang Bapak, seorang laki-laki malah memberitahku hal berbeda. Bus menuju Serang sudah berangkat sedari tadi.
Akhirnya, aku bertolak mencari bus rute Bogor - Karawang dan berhenti di Terminal Kampung Rambutan. Tarif yang dikenakan sebesar Rp 13.000,00 menggunakan Bus Agra Mas. Dari Kampung Rambutan dilanjutkan kembali dengan bis rute Kampung Rambutan - Merak dan berhenti di Terminal Pakupatan dengan tarif perjalanan sebesar Rp 30.000,00 menggunakan Bus Primajasa.
Sebelum tiba di Terminal Pakupatan, ada pengalaman menarik. Karena ketidaktahuanku dimana lokasi bencana, kucoba menghubungi Kak Hafidz, manajer Madrasah Relawan, lembaga yang memfasilitasi kegiatan kerelawanan ku kali ini. Mulanya kupikir lokasi bencana tidak jauh dari pelabuhan Merak. Jarak Terminal Pakupatan menuju Merak tidak terlalu jauh. Hingga Kak Hafidz memintaku untuk naik mobil elef rute Pakupatan - Cibaliung dan memintaku berhenti di Kantor Kecamatan Cigeulis. Iseng, kulirik peta melalui aplikasi Google Map, ingin tahu berapa menit lagi perjalananku hingga tiba di posko bencana. Kaget dan tidak percaya, tak kusangka jaraknya masih berkisar tiga jam lagi.
Harap-harap cemas ku bertanya pada Dinas Perhubungan yang berjaga setibanya di Terminal Pakupatan. Dia menyuruhku untuk keluar dari terminal karena Bus Pakupatan - Cibaliung mangkal di pinggir jalan raya. Alhamdulillah, masih ada satu bis yang tersisa, namun dengan tarif perjalanan dua kali lipat dari biasa. Umumnya, tarif satu kali perjalanan Pakupatan - Cibaliung hanya Rp 25.000,00 - 30.000,00. Tapi karena ini adalah bus terakhir hari ini, kami para penumpang dipaksa membayar lebih dan aku dikenakan tarif Rp 60.000,00.
Ku lirik jam di ponsel genggam, pukul delapan malam. Ku timbang-timbang pukul berapa bus ini berangkat, pukul berapa aku sampai. Alhasil, satu tahun lamanya aku menikmati perjalanan itu, dari 2018 hingga 2019. Gerimis rintik-rintik saat supir bus membangunkanku, memberitahu bahwa aku sudah sampai di lokasi tujuan. Ku lirik kembali jam di telepon genggam, pukul setengah satu malam. Soerang bapak-bapak di kantor kecamatan menunjukkanku rumah Ustadz Bay, rumah yang satu minggu ke depan insyaAlah menjadi posko kami.
Persiapanku menuju ke lokasi bencana bisa dibilang mepet dan tanpa persiapan yang matang. Senin, 31 Desember 2018 sekitar pukul dua siang kuputuskan untuk berangkat hari itu juga (padahal rencananya baru berangkat esok hari). Melihat info di salah satu situs internet bahwa jaswal keberangkatan bus rute Bogor - Serang yangyterakhir adalah pukul tiga sore, pukul tiga lebih sedikit, secara mendadak aku pamit dengan Ustadz Wahid, pembina asrama, membawa kebutuhan logistik selama di lapangan ala kadarnya, kemudian bertolak ke jalan raya mencari angkutan umum menuju Terminal Baranagsiang, berharap semoga karena malam malam ini adalah malam tahun baru masih ada bis yang stay di terminal hingga aku tiba.
Baru sekitar pukul empat aku tiba di Terminal Barangsiang, seorang bapak-bapak memberitahukanku bahwa bus rute Bogor - Serang masih tersisa satu bus yang belum berangkat, dan itu jadwal pemberangkatan terakhir hari ini. Ia menunjuk salah satu pojok terminal yang berjarak sekitar seratus meter dari pintu utama terminal. Sesampainya di tempat yang ditunjuk Sang Bapak, seorang laki-laki malah memberitahku hal berbeda. Bus menuju Serang sudah berangkat sedari tadi.
Akhirnya, aku bertolak mencari bus rute Bogor - Karawang dan berhenti di Terminal Kampung Rambutan. Tarif yang dikenakan sebesar Rp 13.000,00 menggunakan Bus Agra Mas. Dari Kampung Rambutan dilanjutkan kembali dengan bis rute Kampung Rambutan - Merak dan berhenti di Terminal Pakupatan dengan tarif perjalanan sebesar Rp 30.000,00 menggunakan Bus Primajasa.
Sebelum tiba di Terminal Pakupatan, ada pengalaman menarik. Karena ketidaktahuanku dimana lokasi bencana, kucoba menghubungi Kak Hafidz, manajer Madrasah Relawan, lembaga yang memfasilitasi kegiatan kerelawanan ku kali ini. Mulanya kupikir lokasi bencana tidak jauh dari pelabuhan Merak. Jarak Terminal Pakupatan menuju Merak tidak terlalu jauh. Hingga Kak Hafidz memintaku untuk naik mobil elef rute Pakupatan - Cibaliung dan memintaku berhenti di Kantor Kecamatan Cigeulis. Iseng, kulirik peta melalui aplikasi Google Map, ingin tahu berapa menit lagi perjalananku hingga tiba di posko bencana. Kaget dan tidak percaya, tak kusangka jaraknya masih berkisar tiga jam lagi.
Harap-harap cemas ku bertanya pada Dinas Perhubungan yang berjaga setibanya di Terminal Pakupatan. Dia menyuruhku untuk keluar dari terminal karena Bus Pakupatan - Cibaliung mangkal di pinggir jalan raya. Alhamdulillah, masih ada satu bis yang tersisa, namun dengan tarif perjalanan dua kali lipat dari biasa. Umumnya, tarif satu kali perjalanan Pakupatan - Cibaliung hanya Rp 25.000,00 - 30.000,00. Tapi karena ini adalah bus terakhir hari ini, kami para penumpang dipaksa membayar lebih dan aku dikenakan tarif Rp 60.000,00.
Ku lirik jam di ponsel genggam, pukul delapan malam. Ku timbang-timbang pukul berapa bus ini berangkat, pukul berapa aku sampai. Alhasil, satu tahun lamanya aku menikmati perjalanan itu, dari 2018 hingga 2019. Gerimis rintik-rintik saat supir bus membangunkanku, memberitahu bahwa aku sudah sampai di lokasi tujuan. Ku lirik kembali jam di telepon genggam, pukul setengah satu malam. Soerang bapak-bapak di kantor kecamatan menunjukkanku rumah Ustadz Bay, rumah yang satu minggu ke depan insyaAlah menjadi posko kami.