Hari-hariku kembali seperti biasa, sibuk mempersiapkan diri sebelum menghadapi Ujian Nasional pada bulan April nanti. Bukannya berkutat memahami pelajaran, kami justru seperti disibukkan dengan latihan-latihan pengisian lembar jawaban. “Bulatannya harus penuh”, “semuanya harus dihitamkan”, “tidak boleh ada yang kotor”, “kertasnya jangan terlipat” dan aturan-aturan ujian lainnya justru menjadi santapan utama.
“Kalau satu mata pelajaran kalian tidak lulus, walaupun dua pelajaran lainnya kalian dapat seratus, kalian tetap tidak lulus,” ujar salah seorang guru yang justru semakin membuat kami bergidik ngeri membayangkan ujian yang akan kami hadapi.
Waktu bergulir bergitu cepat. Masa penantian selama tiga bulan terakhir tidak terasa hanya tersisa beberapa hari saja. Kami diberi waktu satu minggu sebelum ujian untuk menenangkan diri, sebuah penamaan yang seolah hanya sekedar formalitas belaka. Selama minggu tenang justru kami semakin berkutat menyelesaikan soal demi soal, mengulang materi yang sekiranya berpeluang besar keluar saat ujian atau sekedar berlatih cara mengisi lembar jawaban menggunakan pensil 2B.
Tak terasa hari itu tiba, tiga hari masa yang menetukan apakah kami bisa lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kalau pun lulus, nilai yang kami dapatkan akan menjadi penentuan sekolah dengan standar seperti apa yang bisa kami masuki. Entah kenapa masa pendidikan selama enam tahun bisa dibuktikan hanya dengan tes singkat ini dan bagaimana juga sistem ujian seperti ini dapat menilai proses belajar yang dilakukan siswa. Namun, aku kecil belum lah sanggup memikirkan hal rumit seperti itu. Aku yang kala itu baru berumur sebelas tahun kurang empat bulan hanya menurut, patuh pada sistem yang ada.
Sekolahku bukanlah sekolah yang diberi wewenang dalam penyelenggaraan ujian nasional. Alhasil, kami harus “menumpang” di salah satu sekolah yang jaraknya sekitar setengah kilometer dari sekolah kami. Sebelum berangkat, ada satu hal yang dari beberapa hari yang lalu ingin kuberi tahu pada Ayah dan Ibu. Namun, suara itu seolah tercekat di kerengkongan, tak kuasa keluar dalam untaian kata penjelasan.
“Yah, Bu, Ahmad berangkat dulu. Mohon doanya ya.” Sebelum berangkat aku meminta doa dari mereka. Meski sudah pamit aku tak kunjung berdiri dan berangkat, masih terpaku duduk di beranda depan. Aku masih menimbang-nimbang, apakah hal itu harus kuutarakan pada Ayah dan Ibu atau memang lebih baik kusimpan saja. Tampaknya Ayah dan Ibu memperhatikan gelagatku yang aneh.
“Ada apa?” Ibu bertanya padaku yang tiba-tiba kikuk ketahuan karena aku menyembunyikan sesuatu, seperti para pejabat yang linglung, kaget saat ketahuan penyuapan dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK. Kalau memang begini tidak ada salahnya memberitahu mereka.
“Hmm... Ahmad boleh bawa handphone?” Aku bertanya ragu-ragu. Kulihat raut wajah Ayah dan Ibu sedikit bingung, atau mungkin kaget.
“Untuk apa?”
“Hmm... Teman-teman di sekolah, mereka mau bawa handphone supaya bisa saling berbagi jawaban, supaya kami bisa lulus sama-sama.” Aku mencoba menjelaskan. Ayah dan Ibu tidak langsung menjawab hingga Ibu melirik pada Ayah.
“Hmm.. Ayah tidak akan melarang jika kamu memang mau bawa handphone saat ujian. Tapi untuk apa? Bukankah kamu sudah berusaha, sudah belajar? Lalu apa gunanya masa belajarmu yang panjang? Tapi ya seperti yang Ayah bilang, kalau kamu mau bawa, bawa saja.” Ayah tidak menjawab pertanyaanku secara langsung. Begitulah terkadang aku belajar sesuatu darinya.
Berbeda dengan Ibu, aku dan Ayah jarang melakukan sesuatu bersama. Pagi-pagi Ayah akan berangkat menuju pasar untuk berjualan, saat zhuhur akan pulang sejenak untuk shalat dan makan siang dan pergi lagi hingga pukul lima sore. Karena itu aku justru belajar banyak dari Ayah dari bagaimana ia bertindak. Aku lebih banyak belajar dengan melirik bayangannya, melihat dari belakang tubuh kurusnya yang kekar. Seperti saat ini, Ayah tidak langsung menasehatiku soal hal curang yang mungkin akan kulakukan saat ujian. Ayah justru memberiku pilihan, mengajakku untuk mulai berani dalam mengambil keputusan, belajar menimbang-nimbang mana yang baik dan mana yang buruk, sebagai laki-laki, sebagai anak pertama dalam keluarga.
“Yah, Bu, Ahmad tidak jadi bawa handphone. Ahmad berangkat dulu.” Kucium punggung tangan mereka dengan takzim, kuucapkan salam lalu bergegas pergi.
Pagi itu aku berjalan percaya diri walau masih terlihat jelas mimik iri saat melihat hampir semua temanku membawa telepon genggamnya. Dan benar, selama ujian saat satu tangan sibuk berpura-pura mengerjakan soal, tangan kiri tak kalah lihainya dari bawah meja menerima, mengetik balasan, meneruskan pesan. Isinya sudah jelas, kunci jawaban ujian nasional.
Baru hari pertama aku sudah tergiur untuk mendapatkan bocoran jawaban. Imanku benar-benar diuji. Posisi dudukku yang berada di tengah-tengah peserta ujian memudahkanku untuk memperoleh informasi, sengaja maupun tidak disengajar, dari depan, kiri, kanan, belakang atau sekedar memperhatikan kode-kode yang diberikan salah seorang peserta ke peserta lainnya. Satu jari untuk memberitahu bahwa jawabannya A, dua jari untuk B, tiga jari untuk C dan empat jari untuk D.
“Itu namanya rejeki Ahmad. Kamu kan tidak berbuat curang, cuma tidak sengaja mendengar dari teman-temanmu saja.” Bisikan-bisikan bermunculan menggoyahkan, sebagian diriku mengiyakan dan sebagian lagi tak kalah kuat memberontak.
“Ingat, ingat pesan Ayahmu,” bisik diriku yang lain. Benar, aku sudah bertekad untuk tidak berbuat curang. Aku ingin mengerjakan ujian ini sendiri, tidak peduli bagaimana hasilnya.
Maka jadilah aku mengikuti ujian sembari menundukkan kepala, tangan kanan sibuk mengerjakan soal ujian dan tangan lainnya kuat menutup telinga. Tidak, aku tidak ingin curang, tidak ingin mencuri dengar.
Hari pertama ujian kulalui sesuai dengan harapan Ayah, melawan hawa nafsuku untuk tidak berbuat curang. Tapi tidak dengan hari kedua, imanku diuji lebih berat.
Adalah Pak Hasan, teman Ibuku yang menjadi pengawas ujian kala itu. Mungkin karena dasar ingin tolong menolong sesama teman, atau minimal anak dari seorang teman, beliau sering mondar-mandir memperhatikan lembar jawabanku. Kadang ia berhenti sejenak, melihat seksama satu demi satu soal yang sudah kujawab.
“Ahmad, ini salah. Jawaban yang benarnya ini.” Eh, aku memperhatikan soal yang ditunjuk oleh beliau. “Ya, soal yang ini, jawabanmu salah. Jawaban yang benarnya ini.” Beliau kembali meyakinkan.
Ragu-ragu kubaca lagi soal yang telah kujawab. Memang sebenarnya soal ini hanya kujawab asal-asalan. Pesan Ayah kembali terngiang, apakah ini sebuah kecurangan? Sementara Pak Hasan kembali mondar-mandir memperhatikan peserta ujian yang lain.
Selang beberapa lama Pak Hasan sudah kembali berdiri di sampingku, memperhatikan kembali lembar jawaban yang hampir semuanya sudah kuisi.
“Ini belum diganti?” tanya beliau.
“Hmm... Belum Pak.”
“Kenapa belum diganti?”
“Saya masih ragu dengan jawabannya Pak. Saya masih yakin dengan jawaban saya,” jawabku mencari alasan. Berhasil, Pak Hasan berlalu meninggalkan meja ujianku.
Sejenak kulihat Pak Hasan mengobrol dengan pengawas ujian lainnya.
“Ya bagus, anak itu sudah punya pendirian. Bagus kalau sudah punya pendirian. Tapi jawabannya salah,” sahut Pak Hasan pada rekannya yang masih bisa kudengar dari posisiku. Beliau kemudian kembali menghampiriku.
“Ahmad, bagus kamu sudah bisa jadi anak yang punya keteguhan tekad,” puji beliau seperti yang baru saja ia katakan pada rekannya tentang aku. “Tapi, jawabanmu ini salah.”
Aduh, ini bapak tidak mau mengalah. Beliau masih belum beranjak dan terus memperhatikan lembar ujianku. Sepertinya ia tidak akan pergi sampai aku mengganti jawabanku. Rasa seganku sedikit berubah menjadi kesal, bisakah beliau membiarkanku dengan pilihan yang kupilih. Kalaupun itu salah, itu karena usahaku sendiri.
Namun beliau lebih keras kepala dari yang kubayangkan. Ditambah sedikit rasa seganku padanya yang masih tersisa semakin mendorongku kalah. Terpaksa aku mengganti jawaban pada soal yang Pak Hasan tunjuk, menghapusnya hingga bersih lalu menggantinya dengan jawaban yang diberikan oleh beliau. Maafkan Ahmad ya Allah, bukan maaf karena aku kalah, lupa akan pesan Ayah. Aku tak berniat kalah sama sekali. Tidak. Sebelum waktu ujian berakhir jawaban tersebut kuubah kembali menjadi jawabanku semula. Aku meminta maaf karena sudah membohongi teman Ibuku.
Begitulah masa ujian selama tiga hari itu berakhir begitu saja. Apakah aku berhasil menjadi anak yang sesuai dengan harapan Ayah dan Ibuku? Sayangnya tidak. Pada satu waktu saat ujian, tidak sengaja aku mendengar temanku yang saling bertukar jawaban. Sontak aku langsung melihat lembar jawabanku, membandingkan jawaban yang kupilih dan jawaban yang mereka pilih dan benar jawabanku berbeda dari mereka. Kubaca kembali soal lebih teliti. Dugaanku kembali benar, jawabanku memang salah dan jawaban mereka yang benar. Pikiranku kembali terbagi dalam dua kubu, yang satu membenarkan bahwa tidak apa-apa aku mengganti jawabanku karena toh pada dasarnya aku tahu jawabannya yang benar, hanya karena ceroboh aku salah menjawabnya. Namun kubu yang lain bersikukuh menolak, itu termasuk kecurangan dalam ujian. Pada akhirnya, diriku memilih pembenaran, mengganti jawaban. Tidak kusangka perbuatanku ini justru menjadi penyesalan bagiku hingga beberapa waktu kedepan.
Selang beberapa hari, belum hilang rasanya lelah mengikuti ujian nasional, kami kembali mengikuti ujian akhir sekolah. Kembali, di satu mata pelajaran aku benar-benar dikalahkan, imanku goyah. Bukan hanya satu dua soal, tapi hampir semua soal kujawab dari hasil menyontek karena mata pelajaran ini, Sejarah Kebudayaan Kerinci, adalah mata pelajaran yang dari dulu tidak pernah kumengerti karena memang aku hanya pendatang yang kebetulan pindah di kampung ini. Ya Allah, aku memohon maaf padamu atas segala khilafku.
“Kalau satu mata pelajaran kalian tidak lulus, walaupun dua pelajaran lainnya kalian dapat seratus, kalian tetap tidak lulus,” ujar salah seorang guru yang justru semakin membuat kami bergidik ngeri membayangkan ujian yang akan kami hadapi.
Waktu bergulir bergitu cepat. Masa penantian selama tiga bulan terakhir tidak terasa hanya tersisa beberapa hari saja. Kami diberi waktu satu minggu sebelum ujian untuk menenangkan diri, sebuah penamaan yang seolah hanya sekedar formalitas belaka. Selama minggu tenang justru kami semakin berkutat menyelesaikan soal demi soal, mengulang materi yang sekiranya berpeluang besar keluar saat ujian atau sekedar berlatih cara mengisi lembar jawaban menggunakan pensil 2B.
Tak terasa hari itu tiba, tiga hari masa yang menetukan apakah kami bisa lanjut ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Kalau pun lulus, nilai yang kami dapatkan akan menjadi penentuan sekolah dengan standar seperti apa yang bisa kami masuki. Entah kenapa masa pendidikan selama enam tahun bisa dibuktikan hanya dengan tes singkat ini dan bagaimana juga sistem ujian seperti ini dapat menilai proses belajar yang dilakukan siswa. Namun, aku kecil belum lah sanggup memikirkan hal rumit seperti itu. Aku yang kala itu baru berumur sebelas tahun kurang empat bulan hanya menurut, patuh pada sistem yang ada.
Sekolahku bukanlah sekolah yang diberi wewenang dalam penyelenggaraan ujian nasional. Alhasil, kami harus “menumpang” di salah satu sekolah yang jaraknya sekitar setengah kilometer dari sekolah kami. Sebelum berangkat, ada satu hal yang dari beberapa hari yang lalu ingin kuberi tahu pada Ayah dan Ibu. Namun, suara itu seolah tercekat di kerengkongan, tak kuasa keluar dalam untaian kata penjelasan.
“Yah, Bu, Ahmad berangkat dulu. Mohon doanya ya.” Sebelum berangkat aku meminta doa dari mereka. Meski sudah pamit aku tak kunjung berdiri dan berangkat, masih terpaku duduk di beranda depan. Aku masih menimbang-nimbang, apakah hal itu harus kuutarakan pada Ayah dan Ibu atau memang lebih baik kusimpan saja. Tampaknya Ayah dan Ibu memperhatikan gelagatku yang aneh.
“Ada apa?” Ibu bertanya padaku yang tiba-tiba kikuk ketahuan karena aku menyembunyikan sesuatu, seperti para pejabat yang linglung, kaget saat ketahuan penyuapan dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK. Kalau memang begini tidak ada salahnya memberitahu mereka.
“Hmm... Ahmad boleh bawa handphone?” Aku bertanya ragu-ragu. Kulihat raut wajah Ayah dan Ibu sedikit bingung, atau mungkin kaget.
“Untuk apa?”
“Hmm... Teman-teman di sekolah, mereka mau bawa handphone supaya bisa saling berbagi jawaban, supaya kami bisa lulus sama-sama.” Aku mencoba menjelaskan. Ayah dan Ibu tidak langsung menjawab hingga Ibu melirik pada Ayah.
“Hmm.. Ayah tidak akan melarang jika kamu memang mau bawa handphone saat ujian. Tapi untuk apa? Bukankah kamu sudah berusaha, sudah belajar? Lalu apa gunanya masa belajarmu yang panjang? Tapi ya seperti yang Ayah bilang, kalau kamu mau bawa, bawa saja.” Ayah tidak menjawab pertanyaanku secara langsung. Begitulah terkadang aku belajar sesuatu darinya.
Berbeda dengan Ibu, aku dan Ayah jarang melakukan sesuatu bersama. Pagi-pagi Ayah akan berangkat menuju pasar untuk berjualan, saat zhuhur akan pulang sejenak untuk shalat dan makan siang dan pergi lagi hingga pukul lima sore. Karena itu aku justru belajar banyak dari Ayah dari bagaimana ia bertindak. Aku lebih banyak belajar dengan melirik bayangannya, melihat dari belakang tubuh kurusnya yang kekar. Seperti saat ini, Ayah tidak langsung menasehatiku soal hal curang yang mungkin akan kulakukan saat ujian. Ayah justru memberiku pilihan, mengajakku untuk mulai berani dalam mengambil keputusan, belajar menimbang-nimbang mana yang baik dan mana yang buruk, sebagai laki-laki, sebagai anak pertama dalam keluarga.
“Yah, Bu, Ahmad tidak jadi bawa handphone. Ahmad berangkat dulu.” Kucium punggung tangan mereka dengan takzim, kuucapkan salam lalu bergegas pergi.
Pagi itu aku berjalan percaya diri walau masih terlihat jelas mimik iri saat melihat hampir semua temanku membawa telepon genggamnya. Dan benar, selama ujian saat satu tangan sibuk berpura-pura mengerjakan soal, tangan kiri tak kalah lihainya dari bawah meja menerima, mengetik balasan, meneruskan pesan. Isinya sudah jelas, kunci jawaban ujian nasional.
Baru hari pertama aku sudah tergiur untuk mendapatkan bocoran jawaban. Imanku benar-benar diuji. Posisi dudukku yang berada di tengah-tengah peserta ujian memudahkanku untuk memperoleh informasi, sengaja maupun tidak disengajar, dari depan, kiri, kanan, belakang atau sekedar memperhatikan kode-kode yang diberikan salah seorang peserta ke peserta lainnya. Satu jari untuk memberitahu bahwa jawabannya A, dua jari untuk B, tiga jari untuk C dan empat jari untuk D.
“Itu namanya rejeki Ahmad. Kamu kan tidak berbuat curang, cuma tidak sengaja mendengar dari teman-temanmu saja.” Bisikan-bisikan bermunculan menggoyahkan, sebagian diriku mengiyakan dan sebagian lagi tak kalah kuat memberontak.
“Ingat, ingat pesan Ayahmu,” bisik diriku yang lain. Benar, aku sudah bertekad untuk tidak berbuat curang. Aku ingin mengerjakan ujian ini sendiri, tidak peduli bagaimana hasilnya.
Maka jadilah aku mengikuti ujian sembari menundukkan kepala, tangan kanan sibuk mengerjakan soal ujian dan tangan lainnya kuat menutup telinga. Tidak, aku tidak ingin curang, tidak ingin mencuri dengar.
Hari pertama ujian kulalui sesuai dengan harapan Ayah, melawan hawa nafsuku untuk tidak berbuat curang. Tapi tidak dengan hari kedua, imanku diuji lebih berat.
Adalah Pak Hasan, teman Ibuku yang menjadi pengawas ujian kala itu. Mungkin karena dasar ingin tolong menolong sesama teman, atau minimal anak dari seorang teman, beliau sering mondar-mandir memperhatikan lembar jawabanku. Kadang ia berhenti sejenak, melihat seksama satu demi satu soal yang sudah kujawab.
“Ahmad, ini salah. Jawaban yang benarnya ini.” Eh, aku memperhatikan soal yang ditunjuk oleh beliau. “Ya, soal yang ini, jawabanmu salah. Jawaban yang benarnya ini.” Beliau kembali meyakinkan.
Ragu-ragu kubaca lagi soal yang telah kujawab. Memang sebenarnya soal ini hanya kujawab asal-asalan. Pesan Ayah kembali terngiang, apakah ini sebuah kecurangan? Sementara Pak Hasan kembali mondar-mandir memperhatikan peserta ujian yang lain.
Selang beberapa lama Pak Hasan sudah kembali berdiri di sampingku, memperhatikan kembali lembar jawaban yang hampir semuanya sudah kuisi.
“Ini belum diganti?” tanya beliau.
“Hmm... Belum Pak.”
“Kenapa belum diganti?”
“Saya masih ragu dengan jawabannya Pak. Saya masih yakin dengan jawaban saya,” jawabku mencari alasan. Berhasil, Pak Hasan berlalu meninggalkan meja ujianku.
Sejenak kulihat Pak Hasan mengobrol dengan pengawas ujian lainnya.
“Ya bagus, anak itu sudah punya pendirian. Bagus kalau sudah punya pendirian. Tapi jawabannya salah,” sahut Pak Hasan pada rekannya yang masih bisa kudengar dari posisiku. Beliau kemudian kembali menghampiriku.
“Ahmad, bagus kamu sudah bisa jadi anak yang punya keteguhan tekad,” puji beliau seperti yang baru saja ia katakan pada rekannya tentang aku. “Tapi, jawabanmu ini salah.”
Aduh, ini bapak tidak mau mengalah. Beliau masih belum beranjak dan terus memperhatikan lembar ujianku. Sepertinya ia tidak akan pergi sampai aku mengganti jawabanku. Rasa seganku sedikit berubah menjadi kesal, bisakah beliau membiarkanku dengan pilihan yang kupilih. Kalaupun itu salah, itu karena usahaku sendiri.
Namun beliau lebih keras kepala dari yang kubayangkan. Ditambah sedikit rasa seganku padanya yang masih tersisa semakin mendorongku kalah. Terpaksa aku mengganti jawaban pada soal yang Pak Hasan tunjuk, menghapusnya hingga bersih lalu menggantinya dengan jawaban yang diberikan oleh beliau. Maafkan Ahmad ya Allah, bukan maaf karena aku kalah, lupa akan pesan Ayah. Aku tak berniat kalah sama sekali. Tidak. Sebelum waktu ujian berakhir jawaban tersebut kuubah kembali menjadi jawabanku semula. Aku meminta maaf karena sudah membohongi teman Ibuku.
Begitulah masa ujian selama tiga hari itu berakhir begitu saja. Apakah aku berhasil menjadi anak yang sesuai dengan harapan Ayah dan Ibuku? Sayangnya tidak. Pada satu waktu saat ujian, tidak sengaja aku mendengar temanku yang saling bertukar jawaban. Sontak aku langsung melihat lembar jawabanku, membandingkan jawaban yang kupilih dan jawaban yang mereka pilih dan benar jawabanku berbeda dari mereka. Kubaca kembali soal lebih teliti. Dugaanku kembali benar, jawabanku memang salah dan jawaban mereka yang benar. Pikiranku kembali terbagi dalam dua kubu, yang satu membenarkan bahwa tidak apa-apa aku mengganti jawabanku karena toh pada dasarnya aku tahu jawabannya yang benar, hanya karena ceroboh aku salah menjawabnya. Namun kubu yang lain bersikukuh menolak, itu termasuk kecurangan dalam ujian. Pada akhirnya, diriku memilih pembenaran, mengganti jawaban. Tidak kusangka perbuatanku ini justru menjadi penyesalan bagiku hingga beberapa waktu kedepan.
Selang beberapa hari, belum hilang rasanya lelah mengikuti ujian nasional, kami kembali mengikuti ujian akhir sekolah. Kembali, di satu mata pelajaran aku benar-benar dikalahkan, imanku goyah. Bukan hanya satu dua soal, tapi hampir semua soal kujawab dari hasil menyontek karena mata pelajaran ini, Sejarah Kebudayaan Kerinci, adalah mata pelajaran yang dari dulu tidak pernah kumengerti karena memang aku hanya pendatang yang kebetulan pindah di kampung ini. Ya Allah, aku memohon maaf padamu atas segala khilafku.