Bulan Oktober ini menjadi awal musim penghujan, sedikit terlambat dari beberapa tahun sebelumnya. Sedangkan kota ini masih dengan suasana sama sesaknya. Siang dengan awungan mesin kendaraan bermotor yang enggan melaju cepat di atas aspal panas yang bolong beberapa bagian. Malam? Aih. tampias cahaya lampu kuning-merah kendaraan di sela-sela buliran hujan membangun siluet indah latar belakang foto dari Jembatan Penyeberangan kota kecamatan.
Bertolak sekitar lima belas kilometer dari kota kecamatan ke arah barat, siluet indah monokrom juga sedang dibangun indah dilihat dari lantai empat gedung fakultas sebuah perguruan tinggi negeri. Sekitar empat ratus mahasiswa berkumpul rapi mengenakan almamater seragam berwarna gelap. Siap dengan beberapa perbekalan, air minum, botol-botol yang berisi air mentah untuk berwudhu, beberapa roti dan bungkus nasi, topi-topi dan beberapa ikat kepala.
Hari ini adalah peringatan tiga tahun masa bakti orang nomor satu negeri ini. Dengan bebeberapa janji saat pemilu dan pasca pemilu, berlandaskan sembilan cita-cita sebagai pondasi, seluruh mahasiswa se-Indonesia kompak menyampaikan aspirasi di ibu kota negara. Aksi ini bertajuk agar setiap pihak yang berkepentingan, para aparatur pemerintahan dan kita selaku masyarakat selalu sadar dengan janji-janji yang telah dibuat dan agar tidak lupa bahwa banyak masyarakat yang tengah menunggu terpenuhinya semua janji.
Massa bertolak ke ibu kota sekitar pukul tujuh pagi. Butuh waktu setidaknya satu jam menggunakan kereta urban. Berkumpul dengan sekitar 2.600 mahasiswa lainnya, aksi ini berjalan damai. Beberapa kegiatan aksi dilakukan dengan doa bersama dan shalat berjamaah. Mahasiswa terus menuntut agar dapat berdialog dengan orang nomor satu negeri mengenai permasalahan-permasalahan yang ada. Sebelumnya dua buah surat telah dilayangkan untuk meminta waktu kepada pria nomor satu tersebut agar para mahasiswa dapat berdiskusi bersama, namun pak pos dengan setelan kemeja oren khasnya tak kunjung mengantarkan surat balasan.
Namun suasana berubah ricuh mendekati tengah malam. Massa aksi yang menolak pulang hingga tuntutan mereka terpenuhi, menemui sang “bapak”, diminta membubarkan diri oleh lebih dari seribu personel kepolisian. Sekitar empat belas mahasiswa ditangkap untuk dimintai keterangan dan beberapa peserta aksi terlihat terluka terkena beberapa lembaran batu.
Keseokan harinya, media sosial dipenuhi dengan ratusan foto bentrokan tadi malam, mahasiswa-mahasiswa yang terluka dan keempat belas mahasiswa yang sampai saat ini masih berada di rutan ibu kota. Beberapa tajuk tulisan beredar mempertanyakan kinerja pemerintahan yang telah berjalan tiga tahun lamanya, pertanyaan-pertanyaan kebebasan dalam demokrasi serta kecaman terhadap aksi separatis aparat. Beberapa hari kemudian, empat orang mahasiswa diputuskan sebagai tersangka atas tuntutan merusak fasilitas umum.
Menggunakan pesawat Boeing 737-400, pria dengan perawakan wajah suatu suku yang kental, menggunakan kemeja batik khasnya tengah mematut-matut layar telepon genggamnya. Sesekali pria itu tampak mengetik beberapa tulisan singkat, mungkin mengirimkan pesan atau sekedar mencari beberapa info penting. Sesekali teriakannya terlihat memanggil sesoorang dengan tubuh yang lebih besar dengan setelah jas dan celana hitam senada yang duduk tepat dua kursi di depannya. Di sudut lain, seorang wanita berperawakan bak sekretaris perusahaan, menggunakan kerudung biru muda lebar dengan lembaran-lembaran berkas di tangan kirinya dan sebuah pulpen berwarna hitam di tangan kanannya, tampak berlalu lalang di koridor pesawat yang tidak terlalu luas. Sesekali wanita tersebut memperlihatkan berkas-berkas yang ia bawa pada pria berkemeja batik, meminta koreksi atau sekedar konfirmasi.
“Bagimana rencana Bapak di tanggal 20 nanti? Undangan tersebut akan diadakan di hari yang sama dengan upacara peresmian di wilayah timur.”
“Tidak masalah. Siangnya selepas upacara peresmian dan shalat jumat kita langsung berangkat.” Wanita tadi menjawab dengan anggukan, manut dengan titah sang presiden.
Tak lama berselang, pesawat Boeing yang membawa presiden dan rombongan mendarat di bandara salah satu provinsi bagian timur negara, daerah yang terkenal dengan wilayah pariwisatanya. Namun wajah sang presiden terlihat sedikit gusar sembari melihat layar telepon genggam. Tepukan sang astri di bahunya mengisyaratkan bahwa agar ia tetap tenang.
“Nanti kita cari solusinya,” tenang sang istri dengan suara lembutnya.
Selama dua hari. Sang presiden akan mengikuti berbagai kegiatan di wilayah timur ini. Di antaranya menghadiri undangan para alumni universitas Islam terbaik di dunia dan ditutup dengan meresmikan pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus pada hari terakhir.
“Pesawatnya sudah siap?” tanya presiden pada salah seorang ajudannya. Sang ajudan mengangguk, sebagai isyarat sudah siap sambil mendampingi presiden yang keluar dari masjid usai melaksanakan ibadah shalat jumat.
“Bagaimana kondisi ibu kota?” Presiden kembali bertanya pada ajudannya yang lain.
“Sampai saat ini aksi berjalan damai.”
“Ada berapa mahasiswa yang menunggu?”
“Lebih kurang ada sekitar 3.000 mahasiswa.” Sang presiden tampak memikirkan sesuatu sementara sebuah mobil sedan berwarna hitam datang menjemput presiden dan mengantarkannya menuju bandara.
Hari ini mobilitas presiden terbilang padat. Sejak kemaren pria dengan rambut yang disisir searah ini harus menghadiri beberapa kegiatan dan sebuah undangan di wilayah timur. Hari ini jua ia harus kembali ke salah satu kota dekat ibu kota untuk menghadiri undangan lainnya. Semua agenda yang ia lakukan ini berakhir selepas gelap telah menyelimuti kabut malam. Selepas isya, dengan baju batik yang sama yang masih dikenakannya, bersama sang istri ia kembali ke kediamannya.
Dari salah satu jembatan penyeberangan ibu kota kecamatan, aku melepas penat sembari menikmati sebotol kopi instan melihat tampias lampu merah-kuning. Siluet cahaya di bawah jembatan ini terlihat indah. Terlebih saat malam. Jembatan penyeberangan ini adalah salah satu jembatan penyeberangan terbesar di ibu kota kecamatan yang menghubungkan dua desa yang terpisah oleh sebuah aliran sungai yang tenang. Di bawah sana puluhan perahu berlalu-lalang dengan lampu petromax dengan nyala api merah kuningnya. Sungai yang tenang memantulkan rona lampu petromax semakin memperindah suasana. Dari arah kananku, terdengar suara langkah kaki yang terdengar berat namun memiliki ritme senada setiap langkahnya.
“Pak, sang investor lima menit lagi akan tiba di tempat yang telah disepakati,” sahutnya sambil melepas kacamatanya yang berlensa tipis. Namanya Adnan, pria dua puluh lima tahun ini selalu tersenyum apa pun kondisinya. Pertemuan pertama kami tidaklah spesial. Tiga tahun lalu, kami bertemu pertama kalinya di salah satu swalayan. Aku yang kala itu ingin membeli kebab yang disebut-sebut memiliki rasa terbaik di kota ini, secara kebetulan berebut dengan Adnan yang kala itu memakai celana dan baju kaos berwarna biru gelap. Pasalnya, aku dan Adnan sama-sama menginginkan kebab terbaik itu, namun tak ayal hanya satu kebab yang tersisa. Akhirnya kami putuskan membeli satu kebab terakhir tersebut dan memberikannya pada gadis kecil dengan rambut dikepang dua yang sedari tadi melihat kami berselisih. Sejak hari itu, kami banyak berbagi cerita dan sudah dua tahun ini Adnan membantu bisnis yang ku jalankan.
“Bagaimana suasana ibu kota,” tanyaku.
“Semuanya sesuai perkiraan, presiden tidak menemui mahasiswa yang menjalankan aksi. Mungkin selepas tengah malam ini bentrokan akan terjadi.” Aku tersenyum.
“Berarti tidak ada masalah serius dengan rencana bisnis kita?’ Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ku lontarkan sebenarnya. Adnan telah menjawabnya, semua sesuai perkiraan. Aku kembali tersenyum.
Bisnis yang ku jalankan adalah bisnis yang terbilang cukup aneh. Beberapa praktisi lingkungan acap kali mengkritisi jenis bisnis ini. Di lain sisi para pengamat ekonomi makro dan investor melihat bahwa bisnis ini memiliki peluang usaha yang besar, penyumbang pendapatan negara. Walau karena beberapa kebijakan di benua sana yang bahhh.., omong kosong saja, menyatakan bahwa kualitas produk negeri ini tidak memperhatikan dampak lingkungan, tidak sesuai dengan sertifikasi inilah, tidak memiliki standar kerja yang sesuai dengan negara belahan benua sana, tingkat penjualannya menjadi sedikit menurun karena pangsa pasar yang semakin berkurang, terbatas di beberapa benua di Asia dan Afrika saja. Namun melalui beberapa manajemen strategis yang direncanakan Adnan, penjualan perusahaan kami justru meningkat.
Namun beberapa bulan terakhir bisnis yang ku jalankan mengalami kendala. Dua tahun lalu, tepat saat Adnan pertama kali bekerja di perusahaan ini, seorang pebisnis negara tetangga meminta perusahaanku untuk memasok barang dalam bilangan tertentu. Sebenarnya tidak ada masalah karena stok bahan baku yang ada di perusahaan ini mencukupi. Masalahnya perusahaan ini memiliki pabrik pengolahan yang terbatas. Selama ini sebagian besar produk yang kami jual dikirimkan dalam bentuk setengah jadi. Karena itulah bersama dengan Adnan dua tahun ini aku mulai membangun sebuah pabrik pengolahan baru di pinggir ibu kota kecamatan ini.
Masalah kembali datang saat aku ingin membeli beberapa hektar lahan perkebunan warga yang tidak produktif sebagai lahan tambahan pembangunan pabrik pengolahan. Isu-isu negatif yang berkembang tiga tahun terakhir, terlebih karena kasus pembakaran lahan di dua provinsi seberang pulau sana dua tahun lalu, mendokrin sepakat di pikiran-pikiran orang awam bahwa saat ini sudah terlalu banyak daerah pertanian dan berkebunan yang beralih fungsi menjadi kawasan industri padahal kata Bung Karno pertanian adalah soal hidup dan mati bangsa. Walau rata-rata lahan yang akan ku beli adalah lahan yang sudah lama tidak diurus, sebagian sudah menjadi hutan belukar bahkan, namun warga kian menentang. Aih, mereka melawan orang yang salah. Dengan beberapa politik pintar, bernegosiasi dengan beberapa pihak, enam bulan lalu surat-surat tanah lahan tersebut berpindah ke tanganku. Bah, malah muncul bocah-bocah ingusan, yang baru memakai almamater perguruan tinggi satu dua tahun, berdemo di depan kantor perusahaan.
Sebenarnya gangguan kecil ini bukanlah masalah serius. Namun pasalnya beberapa minggu kemudian sontak masalah ini menjadi masalah nasional. Hampir seluruh badan eksekutif mahasiswa di berbagai perguruan tinggi memviralkan perkara ini. Satu dua media nasional kemudian tertarik mengangkat tema ini di beberapa tayangan berita pagi dan malam.
Justru ini berdampak pada citra perusahaan. Investor yang sebelumnya sepakat mendanai pembangunan pabrik pengolahan menelepon salah satu sekretarisku, menanyakan apakah karena hal ini elektabilias perusahaan akan menurun dan berdampak pada tingkat penjualan dan pendapatan nantinya. Beberapa kali ku yakinkan bahwa ini tidak akan mengganggu apa yang telah perusahaan dapatkan selama ini. Namun yah, bersikukuh investor ini ingin membatalkan kesepakatan investasi bila aku tidak bisa mengembalikan citra perusahaan.
Akhirnya bersama Adnan kami susunlah rencana bertajuk pengalihan ini. Tepat bulan Oktober ini adalah peringatan tiga tahun masa bakti orang nomor satu di negeri ini. Tak perlu peramalan algorima khusus, sudah pasti mahasiswa-mahasiswa akan berdemo di ibu kota menyampaikan aspirasi. Namun yah entah kenapa mahasiswa zaman ini tidak seperti mahasiswa pra reformasi. Aksi-aksi yang dijalankan selalu berjalan damai tanpa ricuh. Ada saja mahasiswa-mahasiswa yang ditugaskan di barisan terdepan yang menjaga ketenangan.
Tapi namanya mahasiswa masih ada celah. Tidak semua pemikiran mereka telah matang. Cukup dengan sedikit sontakan aksi bisa berubah mendramatisir. Masih tanpa perlu mengunakan peramalan khusus, sudah bisa ku tebak banyak dari mereka hanya mengikuti aksi berlandaskan solidaritas dan keberanian bersuara tanpa tahu (atau mungkin tidak mau tahu) secara detail yang sebenarnya tengah disuarakan. Sembilan program wacana kata mereka? Bah, belum lihat mereka bagaimana orang nomor satu negeri ini menyalurkan subsidi energi yang selama ini dinilai tidak efektif. Subsidi energi ini disalurkan ke sektor-sektor yang lebih produktif seperti pembangunan tol laut, percepatan infrastruktur dan pengembangan wilayah timur.
Karena itu ku sisipkan beberapa orang suruhanku yang bertugas membuat suasana aksi berjalan ricuh. Dan benar tepat sebelum tengah malam, saat aparat kepolisian berniat membubarkan massa, saat terjadi aksi dorong-dorongan, orang suruhanku ini melempar satu dua batu ke arah massa aksi. Satu orang terluka. Sontak, suasana aksi berubah. Jiwa-jiwa muda mahasiswa yang masih menyala-nyala berkobar.
Rencanaku semakin lancar karena perkiraan lain juga berjalan sesuai dengan apa yang ku pikirkan. Pria nomor satu negeri ini menemui massa aksi ini? Sekali lagi, Bah. Hal ini tidak akan berlaku di negeri ini. Mengikuti acara peresmian pembangunan lebih produktif dari pada melayani massa aksi abal-abal. Ingin didemo katanya agar pemerintah itu dikontrol? Aku hanya tertawa dalam hati.
“Pak pihak investor telah menunggu di lobi.” Adnan menyadarkan lamunanku.
“O iya, kita kesana sekarang,” balasku. “O iya ini untukmu.” Ku lemparkan sebotol kopi instan lainnya pada Adnan. Kami berdua memang menyukai kopi instan ini. Entah kenapa, walau kami tahu ini tidak murni kopi, rasanya sangat nikmat.
Mulai besok pagi, lini media massa dan media sosial akan berubah. Hiruk-pikuk kejadian aksi malam ini akan menenggelamkan isu-isu negatif perusahaanku yang terus memenuhi lini massa enam bulan terakhir. Selama seminggu kedepan, setidaknya, tidak akan ada atau hanya sedikit orang yang akan mengungkit-ngungkit sengketa lahan antara perusahaanku dengan warga ibu kota kecamatan ini. Semuanya hilang bak ditelan badai. Dan dalam seminggu ini, tanpa satu pun sontakan-sontakan, teriakan-teriakan perlawanan, terlebih dari mahasiswa-mahasiswa sok bijak yang selama ini membuat media massa selalu menyorot perusahaan ini, hak lahan benar-benar akan berpindah tangan dan mulut-,mulut warga setempat yang sebelumnya cerewet akan tersumpal.
Bertolak sekitar lima belas kilometer dari kota kecamatan ke arah barat, siluet indah monokrom juga sedang dibangun indah dilihat dari lantai empat gedung fakultas sebuah perguruan tinggi negeri. Sekitar empat ratus mahasiswa berkumpul rapi mengenakan almamater seragam berwarna gelap. Siap dengan beberapa perbekalan, air minum, botol-botol yang berisi air mentah untuk berwudhu, beberapa roti dan bungkus nasi, topi-topi dan beberapa ikat kepala.
Hari ini adalah peringatan tiga tahun masa bakti orang nomor satu negeri ini. Dengan bebeberapa janji saat pemilu dan pasca pemilu, berlandaskan sembilan cita-cita sebagai pondasi, seluruh mahasiswa se-Indonesia kompak menyampaikan aspirasi di ibu kota negara. Aksi ini bertajuk agar setiap pihak yang berkepentingan, para aparatur pemerintahan dan kita selaku masyarakat selalu sadar dengan janji-janji yang telah dibuat dan agar tidak lupa bahwa banyak masyarakat yang tengah menunggu terpenuhinya semua janji.
Massa bertolak ke ibu kota sekitar pukul tujuh pagi. Butuh waktu setidaknya satu jam menggunakan kereta urban. Berkumpul dengan sekitar 2.600 mahasiswa lainnya, aksi ini berjalan damai. Beberapa kegiatan aksi dilakukan dengan doa bersama dan shalat berjamaah. Mahasiswa terus menuntut agar dapat berdialog dengan orang nomor satu negeri mengenai permasalahan-permasalahan yang ada. Sebelumnya dua buah surat telah dilayangkan untuk meminta waktu kepada pria nomor satu tersebut agar para mahasiswa dapat berdiskusi bersama, namun pak pos dengan setelan kemeja oren khasnya tak kunjung mengantarkan surat balasan.
Namun suasana berubah ricuh mendekati tengah malam. Massa aksi yang menolak pulang hingga tuntutan mereka terpenuhi, menemui sang “bapak”, diminta membubarkan diri oleh lebih dari seribu personel kepolisian. Sekitar empat belas mahasiswa ditangkap untuk dimintai keterangan dan beberapa peserta aksi terlihat terluka terkena beberapa lembaran batu.
Keseokan harinya, media sosial dipenuhi dengan ratusan foto bentrokan tadi malam, mahasiswa-mahasiswa yang terluka dan keempat belas mahasiswa yang sampai saat ini masih berada di rutan ibu kota. Beberapa tajuk tulisan beredar mempertanyakan kinerja pemerintahan yang telah berjalan tiga tahun lamanya, pertanyaan-pertanyaan kebebasan dalam demokrasi serta kecaman terhadap aksi separatis aparat. Beberapa hari kemudian, empat orang mahasiswa diputuskan sebagai tersangka atas tuntutan merusak fasilitas umum.
*****
Menggunakan pesawat Boeing 737-400, pria dengan perawakan wajah suatu suku yang kental, menggunakan kemeja batik khasnya tengah mematut-matut layar telepon genggamnya. Sesekali pria itu tampak mengetik beberapa tulisan singkat, mungkin mengirimkan pesan atau sekedar mencari beberapa info penting. Sesekali teriakannya terlihat memanggil sesoorang dengan tubuh yang lebih besar dengan setelah jas dan celana hitam senada yang duduk tepat dua kursi di depannya. Di sudut lain, seorang wanita berperawakan bak sekretaris perusahaan, menggunakan kerudung biru muda lebar dengan lembaran-lembaran berkas di tangan kirinya dan sebuah pulpen berwarna hitam di tangan kanannya, tampak berlalu lalang di koridor pesawat yang tidak terlalu luas. Sesekali wanita tersebut memperlihatkan berkas-berkas yang ia bawa pada pria berkemeja batik, meminta koreksi atau sekedar konfirmasi.
“Bagimana rencana Bapak di tanggal 20 nanti? Undangan tersebut akan diadakan di hari yang sama dengan upacara peresmian di wilayah timur.”
“Tidak masalah. Siangnya selepas upacara peresmian dan shalat jumat kita langsung berangkat.” Wanita tadi menjawab dengan anggukan, manut dengan titah sang presiden.
Tak lama berselang, pesawat Boeing yang membawa presiden dan rombongan mendarat di bandara salah satu provinsi bagian timur negara, daerah yang terkenal dengan wilayah pariwisatanya. Namun wajah sang presiden terlihat sedikit gusar sembari melihat layar telepon genggam. Tepukan sang astri di bahunya mengisyaratkan bahwa agar ia tetap tenang.
“Nanti kita cari solusinya,” tenang sang istri dengan suara lembutnya.
Selama dua hari. Sang presiden akan mengikuti berbagai kegiatan di wilayah timur ini. Di antaranya menghadiri undangan para alumni universitas Islam terbaik di dunia dan ditutup dengan meresmikan pengoperasian Kawasan Ekonomi Khusus pada hari terakhir.
“Pesawatnya sudah siap?” tanya presiden pada salah seorang ajudannya. Sang ajudan mengangguk, sebagai isyarat sudah siap sambil mendampingi presiden yang keluar dari masjid usai melaksanakan ibadah shalat jumat.
“Bagaimana kondisi ibu kota?” Presiden kembali bertanya pada ajudannya yang lain.
“Sampai saat ini aksi berjalan damai.”
“Ada berapa mahasiswa yang menunggu?”
“Lebih kurang ada sekitar 3.000 mahasiswa.” Sang presiden tampak memikirkan sesuatu sementara sebuah mobil sedan berwarna hitam datang menjemput presiden dan mengantarkannya menuju bandara.
Hari ini mobilitas presiden terbilang padat. Sejak kemaren pria dengan rambut yang disisir searah ini harus menghadiri beberapa kegiatan dan sebuah undangan di wilayah timur. Hari ini jua ia harus kembali ke salah satu kota dekat ibu kota untuk menghadiri undangan lainnya. Semua agenda yang ia lakukan ini berakhir selepas gelap telah menyelimuti kabut malam. Selepas isya, dengan baju batik yang sama yang masih dikenakannya, bersama sang istri ia kembali ke kediamannya.
*****
Dari salah satu jembatan penyeberangan ibu kota kecamatan, aku melepas penat sembari menikmati sebotol kopi instan melihat tampias lampu merah-kuning. Siluet cahaya di bawah jembatan ini terlihat indah. Terlebih saat malam. Jembatan penyeberangan ini adalah salah satu jembatan penyeberangan terbesar di ibu kota kecamatan yang menghubungkan dua desa yang terpisah oleh sebuah aliran sungai yang tenang. Di bawah sana puluhan perahu berlalu-lalang dengan lampu petromax dengan nyala api merah kuningnya. Sungai yang tenang memantulkan rona lampu petromax semakin memperindah suasana. Dari arah kananku, terdengar suara langkah kaki yang terdengar berat namun memiliki ritme senada setiap langkahnya.
“Pak, sang investor lima menit lagi akan tiba di tempat yang telah disepakati,” sahutnya sambil melepas kacamatanya yang berlensa tipis. Namanya Adnan, pria dua puluh lima tahun ini selalu tersenyum apa pun kondisinya. Pertemuan pertama kami tidaklah spesial. Tiga tahun lalu, kami bertemu pertama kalinya di salah satu swalayan. Aku yang kala itu ingin membeli kebab yang disebut-sebut memiliki rasa terbaik di kota ini, secara kebetulan berebut dengan Adnan yang kala itu memakai celana dan baju kaos berwarna biru gelap. Pasalnya, aku dan Adnan sama-sama menginginkan kebab terbaik itu, namun tak ayal hanya satu kebab yang tersisa. Akhirnya kami putuskan membeli satu kebab terakhir tersebut dan memberikannya pada gadis kecil dengan rambut dikepang dua yang sedari tadi melihat kami berselisih. Sejak hari itu, kami banyak berbagi cerita dan sudah dua tahun ini Adnan membantu bisnis yang ku jalankan.
“Bagaimana suasana ibu kota,” tanyaku.
“Semuanya sesuai perkiraan, presiden tidak menemui mahasiswa yang menjalankan aksi. Mungkin selepas tengah malam ini bentrokan akan terjadi.” Aku tersenyum.
“Berarti tidak ada masalah serius dengan rencana bisnis kita?’ Pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu ku lontarkan sebenarnya. Adnan telah menjawabnya, semua sesuai perkiraan. Aku kembali tersenyum.
Bisnis yang ku jalankan adalah bisnis yang terbilang cukup aneh. Beberapa praktisi lingkungan acap kali mengkritisi jenis bisnis ini. Di lain sisi para pengamat ekonomi makro dan investor melihat bahwa bisnis ini memiliki peluang usaha yang besar, penyumbang pendapatan negara. Walau karena beberapa kebijakan di benua sana yang bahhh.., omong kosong saja, menyatakan bahwa kualitas produk negeri ini tidak memperhatikan dampak lingkungan, tidak sesuai dengan sertifikasi inilah, tidak memiliki standar kerja yang sesuai dengan negara belahan benua sana, tingkat penjualannya menjadi sedikit menurun karena pangsa pasar yang semakin berkurang, terbatas di beberapa benua di Asia dan Afrika saja. Namun melalui beberapa manajemen strategis yang direncanakan Adnan, penjualan perusahaan kami justru meningkat.
Namun beberapa bulan terakhir bisnis yang ku jalankan mengalami kendala. Dua tahun lalu, tepat saat Adnan pertama kali bekerja di perusahaan ini, seorang pebisnis negara tetangga meminta perusahaanku untuk memasok barang dalam bilangan tertentu. Sebenarnya tidak ada masalah karena stok bahan baku yang ada di perusahaan ini mencukupi. Masalahnya perusahaan ini memiliki pabrik pengolahan yang terbatas. Selama ini sebagian besar produk yang kami jual dikirimkan dalam bentuk setengah jadi. Karena itulah bersama dengan Adnan dua tahun ini aku mulai membangun sebuah pabrik pengolahan baru di pinggir ibu kota kecamatan ini.
Masalah kembali datang saat aku ingin membeli beberapa hektar lahan perkebunan warga yang tidak produktif sebagai lahan tambahan pembangunan pabrik pengolahan. Isu-isu negatif yang berkembang tiga tahun terakhir, terlebih karena kasus pembakaran lahan di dua provinsi seberang pulau sana dua tahun lalu, mendokrin sepakat di pikiran-pikiran orang awam bahwa saat ini sudah terlalu banyak daerah pertanian dan berkebunan yang beralih fungsi menjadi kawasan industri padahal kata Bung Karno pertanian adalah soal hidup dan mati bangsa. Walau rata-rata lahan yang akan ku beli adalah lahan yang sudah lama tidak diurus, sebagian sudah menjadi hutan belukar bahkan, namun warga kian menentang. Aih, mereka melawan orang yang salah. Dengan beberapa politik pintar, bernegosiasi dengan beberapa pihak, enam bulan lalu surat-surat tanah lahan tersebut berpindah ke tanganku. Bah, malah muncul bocah-bocah ingusan, yang baru memakai almamater perguruan tinggi satu dua tahun, berdemo di depan kantor perusahaan.
Sebenarnya gangguan kecil ini bukanlah masalah serius. Namun pasalnya beberapa minggu kemudian sontak masalah ini menjadi masalah nasional. Hampir seluruh badan eksekutif mahasiswa di berbagai perguruan tinggi memviralkan perkara ini. Satu dua media nasional kemudian tertarik mengangkat tema ini di beberapa tayangan berita pagi dan malam.
Justru ini berdampak pada citra perusahaan. Investor yang sebelumnya sepakat mendanai pembangunan pabrik pengolahan menelepon salah satu sekretarisku, menanyakan apakah karena hal ini elektabilias perusahaan akan menurun dan berdampak pada tingkat penjualan dan pendapatan nantinya. Beberapa kali ku yakinkan bahwa ini tidak akan mengganggu apa yang telah perusahaan dapatkan selama ini. Namun yah, bersikukuh investor ini ingin membatalkan kesepakatan investasi bila aku tidak bisa mengembalikan citra perusahaan.
Akhirnya bersama Adnan kami susunlah rencana bertajuk pengalihan ini. Tepat bulan Oktober ini adalah peringatan tiga tahun masa bakti orang nomor satu di negeri ini. Tak perlu peramalan algorima khusus, sudah pasti mahasiswa-mahasiswa akan berdemo di ibu kota menyampaikan aspirasi. Namun yah entah kenapa mahasiswa zaman ini tidak seperti mahasiswa pra reformasi. Aksi-aksi yang dijalankan selalu berjalan damai tanpa ricuh. Ada saja mahasiswa-mahasiswa yang ditugaskan di barisan terdepan yang menjaga ketenangan.
Tapi namanya mahasiswa masih ada celah. Tidak semua pemikiran mereka telah matang. Cukup dengan sedikit sontakan aksi bisa berubah mendramatisir. Masih tanpa perlu mengunakan peramalan khusus, sudah bisa ku tebak banyak dari mereka hanya mengikuti aksi berlandaskan solidaritas dan keberanian bersuara tanpa tahu (atau mungkin tidak mau tahu) secara detail yang sebenarnya tengah disuarakan. Sembilan program wacana kata mereka? Bah, belum lihat mereka bagaimana orang nomor satu negeri ini menyalurkan subsidi energi yang selama ini dinilai tidak efektif. Subsidi energi ini disalurkan ke sektor-sektor yang lebih produktif seperti pembangunan tol laut, percepatan infrastruktur dan pengembangan wilayah timur.
Karena itu ku sisipkan beberapa orang suruhanku yang bertugas membuat suasana aksi berjalan ricuh. Dan benar tepat sebelum tengah malam, saat aparat kepolisian berniat membubarkan massa, saat terjadi aksi dorong-dorongan, orang suruhanku ini melempar satu dua batu ke arah massa aksi. Satu orang terluka. Sontak, suasana aksi berubah. Jiwa-jiwa muda mahasiswa yang masih menyala-nyala berkobar.
Rencanaku semakin lancar karena perkiraan lain juga berjalan sesuai dengan apa yang ku pikirkan. Pria nomor satu negeri ini menemui massa aksi ini? Sekali lagi, Bah. Hal ini tidak akan berlaku di negeri ini. Mengikuti acara peresmian pembangunan lebih produktif dari pada melayani massa aksi abal-abal. Ingin didemo katanya agar pemerintah itu dikontrol? Aku hanya tertawa dalam hati.
“Pak pihak investor telah menunggu di lobi.” Adnan menyadarkan lamunanku.
“O iya, kita kesana sekarang,” balasku. “O iya ini untukmu.” Ku lemparkan sebotol kopi instan lainnya pada Adnan. Kami berdua memang menyukai kopi instan ini. Entah kenapa, walau kami tahu ini tidak murni kopi, rasanya sangat nikmat.
Mulai besok pagi, lini media massa dan media sosial akan berubah. Hiruk-pikuk kejadian aksi malam ini akan menenggelamkan isu-isu negatif perusahaanku yang terus memenuhi lini massa enam bulan terakhir. Selama seminggu kedepan, setidaknya, tidak akan ada atau hanya sedikit orang yang akan mengungkit-ngungkit sengketa lahan antara perusahaanku dengan warga ibu kota kecamatan ini. Semuanya hilang bak ditelan badai. Dan dalam seminggu ini, tanpa satu pun sontakan-sontakan, teriakan-teriakan perlawanan, terlebih dari mahasiswa-mahasiswa sok bijak yang selama ini membuat media massa selalu menyorot perusahaan ini, hak lahan benar-benar akan berpindah tangan dan mulut-,mulut warga setempat yang sebelumnya cerewet akan tersumpal.