Seorang pria dapat menginvestasikan Rp 500.000 dari gaji per bulannya yang sebesar Rp 2.500.000. Berapakah besar investasi yang dapat dilakukan oleh pria tersebut saat gajinya menjadi Rp 5.000.000?
Satu juta? Jawabannya Rp 3.000.000.
Oke, jawaban satu juta tidak lah salah sepenuhnya. Namun mari kita telisik. Cerita ini akan kita coba lanjutkan.
Dengan gaji dua setengah juta, dua juta dipergunakan untuk konsumsi dan lima ratus ribu untuk investasi. Saat gaji meningkat dua kali lipatnya, angggaplah investasi juga meningkat dua kali lipat menjadi satu juta, dan tentu konsumsi juga ikut naik dua kali lipat menjadi empat juta.
Dengan uang dua juta, pria tersebut biasa membeli barang X satu buah setiap bulannya. Kemudian saat kenaikan gaji, dengan uang empat juta pria tersebut sanggup membeli barang X dua buah per bulan. Dengan artian, daya beli meningkat.
Sekarang bayangkan bila hal ini tidak hanya terjadi pada satu pria itu saja, namun menyeluruh 1% dari total penduduk Indonesia, alias sekitar dua setengah juta jiwa. Apa dampaknya? Permintaan barang X akan meningkat. Lalu? Tentu saja, sesuai teori ekonomi permintaan meningkat, harga juga ikut meningkat apabila faktor lain dianggap tetap.
Ceritanya belum selesai. Mari kita telusuri lebih jauh. Saat harga barang X meningkat, daya beli masyarakat kembali turun. Pria yang tadi bisa membeli barang X dua buah setiap bulannya, kini kembali hanya bisa membeli satu buah per bulan. Kesimpulannya, daya beli masyarakat kembali pada kondisi semula, namun tidak dengan harga barang X. Bayangkan apa yang terjadi jika ini terus belanjut? Mungkin, sepuluh tahun kemudian pria tersebut baru bisa membeli barang X satu buah per bulan saat gajinya Rp 10.000.000.
Kita pindah ke kisah yang berbeda.
Pada tanggal 1 Mei, aksi buruh dilakukan di ibu kota, menuntut kenaikan upah para pekerja. Sukses, tuntutan mereka diterima. Alhasil biaya tenaga kerja perusahaan meningkat seiring bertambahnya besaran upah yang harus dibayarkan. Tentu hal ini akan berdampak pada menurunnya keuntungan yang bisa didapatkan perusahaan dalam operasional bisnisnya.
Tak mau keuntungan perusahaan turun dari bulan-bulan sebelumnya, perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi dan operasional. Umumnya, caranya ada dua. Jumlah barang yang dijual tetap namun harga dinaikkan, atau harga jual barang tetap namun jumlahnya dikurangi (hal yang sering kita temui pada jajanan makanan ringan). Namun kedua opsi ini memiliki kesimpulan yang sama, perusahaan menaikkan tingkat harga barang yang dijualnya.
Bayangkan jika barang yang dijual perusahaan tersebut merupakan kebutuhan primer. Mau tidak mau, walaupun harga barang naik (atau harga barang tetap tapi jumlahnya jadi semakin sedikit), masyarakat tetap akan membelinya, karena mereka butuh. Waktu ke waktu, masyarakat akan merasakan bahwa mereka kesusahan dalam memenuhi kebutuhan disebabkan harga keputuhan pokok yang naik. Akhirnya, mereka menuntut kenaikan upah atas pekerjaan mereka.
Bayangkan masyarakat yang menuntut kenaikan upah tadi adalah para buruh yang di awal kisah menuntut kenaikan upah di ibu kota. Rantai kejadian ini akan kembali terulang dan terulang. Hasilnya, harga akan selalu naik dan daya beli akan selalu kembali pada kondisi semula. Sebuah mozaik sebab-akibat yang ironi.
Mungkin kalian sudah paham apa yang ingin saya tuliskan setelah ini. Ada dua hal yang salah dari kasus ekonomi dalam dua studi kasus sebelumnya. Kalian bisa menebak? Ya, adanya unsur tabdzir dan tidak adanya rasa syukur karena adanya asumsi.
Ada banyak perbedaan yang bisa kita temui saat membandingkan prinsip ekonomi konvensional dan ekonomi islam, tidak hanya sebatas gharar dan riba. Dalam ekonomi islam juga dituntut untuk membeli apa yang seharusnya dibutuhkan, bukan saja sekadar pada apa yang diinginkan (hal yang tidak diatur dalam ekonomi konvensional). Dengan artian, tidak perlu melakukan tindakan mubadzir dengan membeli barang-barang yang sejatinya tidak kita butuhkan dan hanya jadi pajangan.
Kedua, rendahnya rasa syukur karena asumsi. Eit, ini bukan berarti saya menuntut kita untuk pasrah dengan gaji satu juta per bulan. Bukan itu poinnya. Kalau kita sadar sejatinya sistem ekonomi kita dikendalikan oleh asumsi dan imajinasi, yang sebenarnya itu belum tentu benar-benar ada (salah satu materi ini saya dapatkan dalam buku Rich Dad Poor Dad yang ditulis oleh Robert Kiyosaki).
Saya tidak akan membahas bagaimana asumsi berdampak besar pada proses ekonomi. Mungkin itu akan kita bahas bersama di kesempatan lain.
Dari studi kasus kedua, kita dapat melihat bagaimana ketidakpuasan (baca : sifat tidak bersyukur) justru menimbulkan efek berantai pada pelaku ekonomi lainnya. Hal ini lah yang membuat saya tidak setuju setiap kali kenaikan upah buruh digaungkan di hari buruh internasional, dengan catatan jika tidak diimbangi dengan pendidikan keuangan.
Perasaan ingin memiliki lebih (dengan asumsi yang ia miliki saat ini sejatinya lebih dari cukup), bayangan tabungan yang harus dimiliki lima tahun ke depan, cicilan mobil ketiga yang harus dilunaskan, menuntut kita untuk menghasilkan lebih banyak uang. Jalan pintasnya? Tentu saja, minta kenaikan gaji.
Sekarang kita tahu bahwa perilaku tidak mubadzir dan selalu bersyukur terhadap rizki yang Allah berikan menjadi salah satu instrumen penting bagi pelaku ekonomi yang diatur dalam Islam. Bukankah Allah sudah menjanjikan pada umatnya bahwa rejeki tidak akan tertukar dan kita tidak akan mati kelaparan? Yang penting seberapa besar usaha kita dalam menjemput rejeki.
Eit, tentu tulisan ini saya tuliskan untuk berbagi ke sesama penerima gaji, bukan pada “pemberi” gaji. Ingat, pemberi gaji, bukan rizki karena Allah lah Zat Yang Maha Memberi Rizki. Bila tulisan ini diperuntukkan untuk para pemberi gaji, tentu konsep yang saya tawarkan berbeda, lebih mengedepankan bagaimana para pemiliki usaha mengedepankan tujuan mulia menyejahterakan para karyawannya. Banyak kisah inspiratif berkenaan dengan ini, tapi lagi-lagi insyaAllah akan kita bahas lain kali. Intinya, bayangkan pengaruhnya terhadap ekonomi saat karyawan dan bos saling mengerti, karyawan selalu bersyukur atas rizki yang ia dapati dan bos selalu berusaha meningkatkan taraf hidup karyawannya. Bayangkan hal ini bila dilakukan dengan hati, tanpa saling terlebih dahulu menyuarakan aspirasi karena dari awal keduanya sudah saling mengerti dan memahami
Tulisan ini adalah hasil buah pikir selama mengendarai sepeda motor saat perjalanan pulang dari mengajar tadi malam, dari Tanah Sereal menuju Dramaga, Bogor. Kisah di awal cerita merupakan kisah di yang saya dapatkan di status Whatsapp seorang sahabat beberapa waktu yang lalu.
Bogor, 9 November 2019
Asrama Mahasiswa Minang Bogor
Oke, jawaban satu juta tidak lah salah sepenuhnya. Namun mari kita telisik. Cerita ini akan kita coba lanjutkan.
Dengan gaji dua setengah juta, dua juta dipergunakan untuk konsumsi dan lima ratus ribu untuk investasi. Saat gaji meningkat dua kali lipatnya, angggaplah investasi juga meningkat dua kali lipat menjadi satu juta, dan tentu konsumsi juga ikut naik dua kali lipat menjadi empat juta.
Dengan uang dua juta, pria tersebut biasa membeli barang X satu buah setiap bulannya. Kemudian saat kenaikan gaji, dengan uang empat juta pria tersebut sanggup membeli barang X dua buah per bulan. Dengan artian, daya beli meningkat.
Sekarang bayangkan bila hal ini tidak hanya terjadi pada satu pria itu saja, namun menyeluruh 1% dari total penduduk Indonesia, alias sekitar dua setengah juta jiwa. Apa dampaknya? Permintaan barang X akan meningkat. Lalu? Tentu saja, sesuai teori ekonomi permintaan meningkat, harga juga ikut meningkat apabila faktor lain dianggap tetap.
Ceritanya belum selesai. Mari kita telusuri lebih jauh. Saat harga barang X meningkat, daya beli masyarakat kembali turun. Pria yang tadi bisa membeli barang X dua buah setiap bulannya, kini kembali hanya bisa membeli satu buah per bulan. Kesimpulannya, daya beli masyarakat kembali pada kondisi semula, namun tidak dengan harga barang X. Bayangkan apa yang terjadi jika ini terus belanjut? Mungkin, sepuluh tahun kemudian pria tersebut baru bisa membeli barang X satu buah per bulan saat gajinya Rp 10.000.000.
Kita pindah ke kisah yang berbeda.
Pada tanggal 1 Mei, aksi buruh dilakukan di ibu kota, menuntut kenaikan upah para pekerja. Sukses, tuntutan mereka diterima. Alhasil biaya tenaga kerja perusahaan meningkat seiring bertambahnya besaran upah yang harus dibayarkan. Tentu hal ini akan berdampak pada menurunnya keuntungan yang bisa didapatkan perusahaan dalam operasional bisnisnya.
Tak mau keuntungan perusahaan turun dari bulan-bulan sebelumnya, perusahaan melakukan efisiensi biaya produksi dan operasional. Umumnya, caranya ada dua. Jumlah barang yang dijual tetap namun harga dinaikkan, atau harga jual barang tetap namun jumlahnya dikurangi (hal yang sering kita temui pada jajanan makanan ringan). Namun kedua opsi ini memiliki kesimpulan yang sama, perusahaan menaikkan tingkat harga barang yang dijualnya.
Bayangkan jika barang yang dijual perusahaan tersebut merupakan kebutuhan primer. Mau tidak mau, walaupun harga barang naik (atau harga barang tetap tapi jumlahnya jadi semakin sedikit), masyarakat tetap akan membelinya, karena mereka butuh. Waktu ke waktu, masyarakat akan merasakan bahwa mereka kesusahan dalam memenuhi kebutuhan disebabkan harga keputuhan pokok yang naik. Akhirnya, mereka menuntut kenaikan upah atas pekerjaan mereka.
Bayangkan masyarakat yang menuntut kenaikan upah tadi adalah para buruh yang di awal kisah menuntut kenaikan upah di ibu kota. Rantai kejadian ini akan kembali terulang dan terulang. Hasilnya, harga akan selalu naik dan daya beli akan selalu kembali pada kondisi semula. Sebuah mozaik sebab-akibat yang ironi.
Mungkin kalian sudah paham apa yang ingin saya tuliskan setelah ini. Ada dua hal yang salah dari kasus ekonomi dalam dua studi kasus sebelumnya. Kalian bisa menebak? Ya, adanya unsur tabdzir dan tidak adanya rasa syukur karena adanya asumsi.
Ada banyak perbedaan yang bisa kita temui saat membandingkan prinsip ekonomi konvensional dan ekonomi islam, tidak hanya sebatas gharar dan riba. Dalam ekonomi islam juga dituntut untuk membeli apa yang seharusnya dibutuhkan, bukan saja sekadar pada apa yang diinginkan (hal yang tidak diatur dalam ekonomi konvensional). Dengan artian, tidak perlu melakukan tindakan mubadzir dengan membeli barang-barang yang sejatinya tidak kita butuhkan dan hanya jadi pajangan.
Kedua, rendahnya rasa syukur karena asumsi. Eit, ini bukan berarti saya menuntut kita untuk pasrah dengan gaji satu juta per bulan. Bukan itu poinnya. Kalau kita sadar sejatinya sistem ekonomi kita dikendalikan oleh asumsi dan imajinasi, yang sebenarnya itu belum tentu benar-benar ada (salah satu materi ini saya dapatkan dalam buku Rich Dad Poor Dad yang ditulis oleh Robert Kiyosaki).
Saya tidak akan membahas bagaimana asumsi berdampak besar pada proses ekonomi. Mungkin itu akan kita bahas bersama di kesempatan lain.
Dari studi kasus kedua, kita dapat melihat bagaimana ketidakpuasan (baca : sifat tidak bersyukur) justru menimbulkan efek berantai pada pelaku ekonomi lainnya. Hal ini lah yang membuat saya tidak setuju setiap kali kenaikan upah buruh digaungkan di hari buruh internasional, dengan catatan jika tidak diimbangi dengan pendidikan keuangan.
Perasaan ingin memiliki lebih (dengan asumsi yang ia miliki saat ini sejatinya lebih dari cukup), bayangan tabungan yang harus dimiliki lima tahun ke depan, cicilan mobil ketiga yang harus dilunaskan, menuntut kita untuk menghasilkan lebih banyak uang. Jalan pintasnya? Tentu saja, minta kenaikan gaji.
Sekarang kita tahu bahwa perilaku tidak mubadzir dan selalu bersyukur terhadap rizki yang Allah berikan menjadi salah satu instrumen penting bagi pelaku ekonomi yang diatur dalam Islam. Bukankah Allah sudah menjanjikan pada umatnya bahwa rejeki tidak akan tertukar dan kita tidak akan mati kelaparan? Yang penting seberapa besar usaha kita dalam menjemput rejeki.
Eit, tentu tulisan ini saya tuliskan untuk berbagi ke sesama penerima gaji, bukan pada “pemberi” gaji. Ingat, pemberi gaji, bukan rizki karena Allah lah Zat Yang Maha Memberi Rizki. Bila tulisan ini diperuntukkan untuk para pemberi gaji, tentu konsep yang saya tawarkan berbeda, lebih mengedepankan bagaimana para pemiliki usaha mengedepankan tujuan mulia menyejahterakan para karyawannya. Banyak kisah inspiratif berkenaan dengan ini, tapi lagi-lagi insyaAllah akan kita bahas lain kali. Intinya, bayangkan pengaruhnya terhadap ekonomi saat karyawan dan bos saling mengerti, karyawan selalu bersyukur atas rizki yang ia dapati dan bos selalu berusaha meningkatkan taraf hidup karyawannya. Bayangkan hal ini bila dilakukan dengan hati, tanpa saling terlebih dahulu menyuarakan aspirasi karena dari awal keduanya sudah saling mengerti dan memahami
Tulisan ini adalah hasil buah pikir selama mengendarai sepeda motor saat perjalanan pulang dari mengajar tadi malam, dari Tanah Sereal menuju Dramaga, Bogor. Kisah di awal cerita merupakan kisah di yang saya dapatkan di status Whatsapp seorang sahabat beberapa waktu yang lalu.
Bogor, 9 November 2019
Asrama Mahasiswa Minang Bogor