“Buat adik-adik yang sebentar lagi melanjutkan bangku pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi, mungkin dari sekolah dasar ke sekolah menengah, sekolah menengah ke sekolah tinggi, silahkan tanyakan dulu pada pihak sekolahnya, ‘Jika memang sekolah memiliki tujuan untuk mencerdaskan, lantas mengapa hanya menerima siswa yang pandai?’ Jawaban dari mereka dapat menjadi bahan pertimbangan bagi kalian harus melanjutkan kemana.”
Ada beberapa jawaban yang mungkin akan saya lontarkan pada saat saya berperan sebagai pihak pengelola sekolah. Salah satu jawaban ketika saya terpaksa melakukan proses seleksi calon mahasiswa baru adalah:
Proses seleksi yang menyaring hanya calon-calon siswa yang “cerdas” saja bukan berarti sekolah mengekang hak mereka yang dicap “kurang pandai” untuk mendapat pendidikan lanjutan yang berkualitas. Sejatinya pendidikan merupakan sebuah proses. Sistem pendidikan yang berjenjang, dari dasar hingga tinggi, memiliki standar kompetensi minimal sebelum seorang calon siswa dikatakan mampu memasuki salah satu jenjang pendidikan tertentu. Bagaimana bila seorang siswa yang belum bisa membaca dengan lancar namun diterima di sekolah menengah pertama? Atau seorang siswa yang belum tahu aturan Kabataku (kali, bagi, tambah dan kurang) serta tidak mengenal perkalian bilangan satuan memaksakan diri untuk masuk jurusan ilmu pengetahuan alam saat sekolah menengah atas? Tidak hanya guru yang akan menghadapi tantangan mendidik yang tinggi (walaupun sebanrnya itulah tugas seorang guru), siswa tersebut juga berpeluang menghadapi beban pikiran karena apa yang akan ia pelajari tidak seimbang dengan standar kompetensi yang ia miliki. Saya ingat saat di pesantren dahulu, kami baru bisa mempelajari kitab Alfiyyah karya Ibnu Malik setelah menamatkan kitab Matan Ajrumiyyah yang lebih ringan pembahasannya.
Namun masalah tidak akan selesai dengan hanya menolak para calon siswa yang memiliki standar kompetensi yang kurang. Pada tanggal 6 April lalu, saat kunjungan ke TKBM (Tempat Kegiatan Belajar Mandiri) Cahaya Dhuafa, sebuah sekolah terbuka yang ada di Bogor saya mendapati metode seleksi yang menarik. Sekolah yang memfokuskan diri pada masyarakat dhuafa ini memang melakukan seleksi pada para calon siswa baru, seperti tes baca Al Qur’an dan lain-lain. Alih-alih hanya menolak siswa yang dinilai belum mampu, siswa-siswa tersebut dimasukkan dalam pembinaan dengan salah seorang guru selama satu tahun sehingga tahun depan mereka bisa memulai bersekolah seperti siswa lainnya. Dalam hal ini, saya melihat sebuah hakikat sekolah, tidak hanya membuat yang pandai semakin pandai namun juga membantu mereka yang menghadapi kesulitan belajar untuk menjadi pandai.
Tapi pertanyaan lanjutan, apakah menolak siswa yang memiliki standar kompetensi yang kurang ini benar? Tergantung bagaimana sekolah memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan. Munif Chatib menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Sekolah Anak-anak Juara yang ditulisnya bersama Alamsyah Said, bahwa manusia memiliki kemampuan yang luas dan diciptakan dalam keadaan yang sempurna. Kemampaun ini secara umum dikelompokkan menjadi tiga ranah, yaitu kemampuan psiko-afektif, kemampuan psikomotorik dan kemampuan psikokognitif.
Kemampuan psiko-afektif berkaitan dengan respon atau perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sederhananya, perilaku yang baik saat orang berkomunikasi dengan lingkungannya, seperti tidak pernah terlambat, sopan dan santun, selalu menghormati orang yang lebih tua dan mudah bergaul adalah sebuah cerminan kemampuan psiko-afektif yang baik.
Kemampuan psikomotorik berkaitan dengan perkembangan jasmani seseorang terhadap suatu aktivitas yang ia lakukan atau perkembangannya dalam menghasilkan suatu karya, sesederhana apapun bentuknya. Contohnya seorang anak yang berani tampil bernyanyi, membaca puisi, keaktifannya dalam kegiatan olahraga menunjukan bentuk kemampuan psikomotorik.
Sedangkan kemampuan psikokognitif adalah yang selama ini erat dengan kata cerdas atau jenius (walaupun ada kesalahan pemahaman dalam penggunaan diksi kata ini di masyarakat, karena setiap manusia itu cerdas di bidangnya masing-masing). Kemampuan psikokognitif berkaitan dengan kemampuan olah pikir seseorang dalam mengenali, menganalisa hingga menyelesaikan suatu permasalahan (Chatib dan Said, 2012).
Sekolah yang berorientasi pada kemampuan kognitif umumnya akan mengabaikan bagaimana perilaku baik siswa yang merupakan bagian dari kemampuan psiko-afektif atau bagaimana keahliannya dalam dunia tarik suara yang merupakan bagian dari kemampuan psikomotorik. Sekolah yang melakukan proses seleksi karena dalih ini adalah salah karena menyalahi tujuan dari pendidikan itu sendiri. Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekolah tidak hanya berkewajiban mendidik siswa menjadi pintar, namun juga bermoral. Sekolah dengan tipe seperti ini sering kita dapati lebih mengutamakan hasil di atas kertas, bahkan beberapa bertindak curang untuk mempertahankan nilai tersebut.
Jika kita mendapati sebuah sekolah yang menjawab seperti jawaban di atas saat ditanya kenapa sekolah hanya menerima siswa yang pandai, saran saya ada dua. Pertama, jika sekolah hanya berorientasi pada kemampuan psikokognitif siswa saja tinggalkan sekolah tersebut (kecuali didapati guru-guru yang memiliki sudut pandang berbeda dan mau mengembangkan ketiga jenis kemampuan manusia). Siswa hanya dikatakan berhasil saat nilai matematika atau ekonominya di atas delapan. Siswa dituntut mendapatkan hasil tertinggi, bukan memahami apa yang dipelajari. Kedua, jika kita juga memiliki orientasi di bidang kemampuan kognitif seperti mendalami pelajaran bahasa, fisika atau sosiologi misalnya, dan sekolah melakukan penyaringan karena standar kompetensi minimal dinilai perlu, silahkan masuk, mungkin sistem pendidikan seperti itu cocok untuk Anda. Namun jika kalian ingin mengembangkan minat dan bakat dalam artian luas, carilah sekolah yang tidak hanya berorientasi pada kemampuan kognitif, namun juga mampu mengembangkan kemapuan psiko-afektif dan psikomotorik siswa.
Terakhir, apakah proses penyaringan calon siswa baru demi mendapatkan calon siswa dengan standar kompetensi tertentu adalah sistem pendidikan terbaik? Jawaban saya, tidak. Sistem pendidikan tersebut hanya cocok untuk mereka yang tidak memiliki masalah dalam proses belajar. Faktanya, manusia diciptakan berbeda-beda dan beberapa diberi nikmat sebagai individu yang memiliki keterlambatan dalam proses belajar. Jika ingin memanusiakan manusia dengan arti yang sesungguhnya, mendidik dengan artian pendidikan yang sesungguhnya, sekolah harus memperhatikan ketiga aspek kecerdasan tanpa terkecuali. Setiap anak adalah mentari namun beberapa di antara mereka terhalang oleh awan kelabu, dan tugasnya seorang gurulah menghilangkan awan kelabu tersebut dan membuat mereka kembali bersinar (kata-kata ini adalah nasihat dari teman saya, Mas Ujang A Hapid). Setiap anak berhak sukses di bidangnya masing-masing. Anak yang memiliki kemampuan kognitif mampuni sudah umum kita lihat sukses dengan mimpi-mimpinya. Anak-anak yang memiliki kemampuan psikomotorik seperti menyanyi, bermain sepak bola, melukis, memahat hingga merangkai sesuatu juga memiliki kesempatan untuk sukses walaupun kemampuan kognitif di bawah rata-rata. Tak jarang kita dengar, seorang santri yang berperilaku baik pada gurunya, patuh dan santun, walaupun kemampuannya dalam belajar pas-pasan (pas belajar ingat, pas ujian lupa) justru mendapatkan kesuksesan yang tidak pernah dibayangkan santri lainnya. Kita bisa berkaca pada Sekolah Manusia Pak Munif Chatib, atau Khan Academy, atau SMK Al Biruny Bogor. Sekolah-sekolah ini adalah beberapa contoh yang mendidik dengan arti pendidikan yang sesungguhnya, bahwa setiap anak dilahirkan cerdas, namun pada bidang yang berbeda.
Jadi, apakah proses seleksi calon siswa baru merupakan sebuah tahapan pra sekolah yang benar? Tergantung bagaimana sekolah memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan.
