Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Wr Wb
Pernah ngerasain, saat entah kenapa kita pengen nulis sesuatu, atau mungkin lagi pengen ngebuat suatu karya tapi bingung mau nulis apa atau mau buat karya seperti apa?
Pengalaman ini ingin saya bagikan karena saya berkesimpulan bahwa menulis bukan hal yang perlu diambil pusing. Saat tulisan ini saya tulis, perasaan kuat untuk menulis itu kembali kambuh. Minggu-minggu sebelumnya keinginan saya untuk menulis dapat tersalurkan melalui tugas mata kuliah Manajemen Proyek di kampus dimana saya bersama 4 teman lainnya ngerencanain proyek nerbitin novel karangan kami berlima. Walau ide awalnya pengen mengadopsi ide cerita menjadi komik, tapi ide tersebut terpaksa ditunda karena rutinitas kampus, intrakampus, atau pun ekstrakampus yang padet.
Nah, justru sekarang saat lagi kepengen nulis malah kagak ada ide mau nulis apaan. Semakin dipikir ide-ide yang saat ini entah berkeliaran dimana seperti semakin menjauh. Ujung-ujungnya (biasanya) kasus ini akhirnya ditutup dengan ketuk palu karena kehabisan waktu buat mikirin apa yang mau ditulis tanpa satu kata pun yang menjadi bukti bahwa kita tengah mencari ide tulisan.
Berkaca dari pengalaman dan tidak ingin waktu terbuang sia-sia, saya mencoba mengubah paradigma berpikir. Bukan terbatas pada "Apa yang harus saya tulis?" tetapi "Kenapa saya tidak mulai menulis?". Kemudian pertanyaan jdi dilanjutkan ke "Dari mana saya harus memulai jika tidak ada ide?", "Apa itu ide?", "Bukankah ide adalah kata lain dari buah pikiran", "Kalau begitu apa yang saya pikirkan sekarang?". Rangkaian pertanyaan ini menggiring saya pada satu kesimpulan bahwa saat ini saya tengah berpikir bahwa "saya tengah kebingungan mencari ide untuk ditulis", dan ini merupakan buah pikiran (ide) saya saat ini. Rasa bingung saya dalam mencari ide atau memulai menulis bukankah itu sebuah buah pikiran? Mengapa tidak bila buah pikiran ini yang saya salurkan menjadi karya. Saya jadi teringat guru sejarah ketika saya duduk di Madrasah Tsanawiyyah dulu pernah memberi nasihat untuk menuliskan apa pun yang tengah saya pikirkan. Urusan bagus atau tidaknya itu urusan belakangan.
Saat kita telah berada pada bagian ini mungkin kita baru tersadari. Saya yang tadi nya mungkin berada di posisi yang sama dengan pembaca disana, tidak tahu ingin menulis apa di samping keinginan menulis yang semakin kuat, saat ini telah menyelesaikan 4 paragraf tulisan pertama saya. So, saya hanya gelang kepala, ternyata menulis tidak semembingungkan yang saya kira sebelumnya. Cukup tulis apa yang tengah kita pikirin jika kita belum tahu apa yang pengen kita tulis.
Mungkin tulisan ini tidak lah lengkap kalau terbatas pada penggiringan opini bahwa menulis itu tidaklah susah. Pertanyaan selanjutnya, Kenapa sih kita harus menulis?
Saya mencoba mengutip pendapat pakar tentang kaitan menulis pengalaman emosional dengan kesehatan fisik maupun mental yang ditulis oleh Bapak Siswanto, S.Psi., M.Si. dalam bukunya yang berjudul "Kesehatan Mental (Konsep, Cakupan dan Perkembangannya)".
Sebuah penelitian dilakukan oleh Smyth yang melakukan monitor terhadap 112 pasien yang menderita penyakit arthritis atau asthma. Subjek diminta untuk menulis mengenai kejadian yang secara emosional penuh dengan tekanan selama 20 menit selama 3 hari. Hasil penelitian ini menyebutkan 50% anggota kelompok yang mengekspresikan kecemasan mereka dalam kertas menunjukkan perbaikan terhadap simtom-simtom penyakit mereka setelah empat bulan (Maday dalam Siswanto 2007).
Selain itu banyak tokoh yang menginspirasi dunia memiliki kebiasaan menulis, setidaknya menulis buku harian. Purcell (2001) menyebutkan bahwa menulis pengalaman hidup (atau menggunakan surat atau buku harian) merupakan kebiasaan kuno yang dapat dilacak, setidaknya pada abad ke-10 di Jepang. Ia menambahkan bahwa orang-orang yang berhasil dalam sejarah mempunyai dan menuliskan catatan-catatan pengalaman hidup mereka.
Lebih lanjut berdasarkan pandangan pengaturan diri (self-regulation) Cameron dan Nicholls (1998) menyatakan bahwa menulis dapat memfasilitasi penyesuaian terhadap peristiwa yang penuh dengan tekanan dengan mempromosikan perkembangan suatu representasi yang secara konferensi mengintegrasikan keyakinan, emosi, dan pengalaman sehingga individu dapat dengan lebih memaknai peristiwa dan mengidentifikasi cara-cara mengatasinya.
Menambah daya ingat juga menjadi salah satu substansi kenapa menulis itu penting. Pernah dengar pepatah ini? "Ilmu itu seperti binatang buruan, dan pena (alias dengan menulis) adalah tali kekangnya". Makanya jangan heran daya ingat teman-teman kita yang rajin nyatet bahan kuliah atau pelajaran sekolah lebih baik dari yang keseringan negatif Sistem Kebut Semalem.
Sebenarnya masih banyak manfaat menulis lainnya. Tidak sedikit tokoh-tokoh besar yang melakukan hal besar terinspirasi dari tulisan "kecil" orang belahan dunia lain. So, masih mageran buat nulis?
Daftar Pustaka
Siswanto. 2007. Kesehatan Mental (Konsep, Cakupan dan Perkembangannya). Yogyakarta (ID). Penerbit Andi.
Bogor, 29 November 2017
Antara Zhuhur dan Ashar
Gedung Perpustakaan IPB Dramaga